Menurut Analis Ada Keseimbangan Baru Di Pasar Properti

Inionline.id – Harizul Akbar Nazwar, seorang analis properti bersertifikat menilai, selama beberapa tahun terakhir sektor properti mengalami stagnasi pertumbuhan harga dan tingkat permintaan. Ini terjadi sejak tahun 2018, ketika pertumbuhan harga properti residensial cenderung menurun.

Tren yang sama, Harizul melanjutkan, ditunjukkan dengan sub sektor komersial properti, seperti ruang kantor dan ritel yang menunjukkan stagnasi tingkat permintaan dalam beberapa tahun terakhir.

“Terdapat dua hal utama yang menyebabkan penurunan harga dan stagnasi permintaan properti secara umum. Pertama, kecenderungan over supply akibat tingkat penawaran yang tidak disertai dengan pertumbuhan tingkat permintaan. Kedua, kenaikan harga yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat,” ujar Harizul, sebagaimana dikutip dari Bisnis.com, Kamis, 16 Juli 2020.

Hal lainnya yang membuat properti Indonesia terus diam di tempat adalah kondisi pasar yang belum mampu bangkit dari over-supply dan over-yield. Kemudian ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 yang semakin memperburuk keadaan.

Dari catatan Bank Indonesia (BI), tingkat penjualan properti residensial terkoreksi tajam pada kuartal I-2020 -30,52 persen (QTQ), dengan price growth yang hanya sebesar 0,46 persen (QTQ).

Ini juga terjadi pada sektor perkantoran yang tiba-tiba menjadi tidak berpenghuni, dengan proyeksi penurunan okupansi hingga -20 persen. Termasuk sektor perhotelan yang terpukul sangat keras mengingat pembatasan pariwisata, baik domestik maupun internasional. Hingga saat ini, okupansi hotel hanya berkisar 10-30 persen, baik hotel bisnis maupun hotel wisata.

“Tidak hanya sektor perkantoran dan hotel, sektor ritel juga terdampak signifikan. Bahkan sebelum Covid-19 mewabah, sektor ritel sudah harus mengalami disrupsi serius akibat perkembangan online marketplace yang bahkan telah memaksa beberapa brand besar harus menutup gerai di beberapa shopping centre ternama,” ucap Harizul.

Berdasarkan catatan selama tahun 2019, performa ritel di Jakarta dan sekitarnya menurun dengan tingkat okupansi yang stagnan sebesar 85 persen, sedangkan net absorption hanya sepertiga tingkat new supply. Pengeluaran yang sifatnya besar, seperti pembelian properti, bukanlah opsi utama kebanyakan orang saat ini. Sebab, mereka lebih memilih menjaga uang cash untuk berjaga-jaga.

Pengembang sendiri saat ini berusaha meningkatkan likuiditas dengan melakukan pengurangan biaya secara signifikan di tengah lesunya tingkat penjualan untuk produk properti baik perumahan, ruang kantor, maupun pusat perbelanjaan. Efisiensi biaya menjadi langkah yang banyak dilakukan pelaku bisnis, termasuk pengembang. Mereka rata-rata melakukan dari revisi budget tahunan, menerapkan cuti tidak dibayar hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerja.

“Harus diakui, kondisi pasar properti Indonesia beberapa tahun ke belakang mencerminkan keadaan yang tidak sesuai antara keseimbangan harga dan nilai. Ekspektasi pasar yang berlebihan mengakibatkan ekspansi suplai yang terlampau agresif dan tidak diiringi dengan real demand serta peningkatan daya beli. Saat ini, posisi harga properti sudah jauh melebihi nilai ekonomisnya (over price),” tutur dia.

Dalam konteks yang paling sederhana, Harizul mengungkapkan, nilai bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, berdasarkan manfaat yang diterima oleh pembeli. Kedua, berdasarkan biaya yang dibutuhkan untuk bisa memberikan manfaat tersebut oleh penjual. Ia mengilustrasikan, “Seperti memotong dengan menggunakan gunting, terkadang sulit untuk mengetahui bagian atas atau bagian bawah gunting yang memotong kertas tersebut.”

Yang terpenting saat ini bagi calon pembeli dan juga pembeli adalah apakah mereka merasa aman dan terlindungi apabila masuk ke suatu properti, apakah ruangan tersebut telah disterilkan secara berkala, apakah lift-nya masih menggunakan tombol fisik, dan pertanyaan lain yang berkaitan dengan protokol kesehatan.

Meskipun pandemi membuat pergerakan jadi terbatas, tetapi sesungguhnya situasi ini menghadirkan peluang bagi kita untuk berimajinasi ulang membayangkan tempat-tempat dan ruang-ruang baru sebagai satu produk yang dapat mencerminkan real value dalam paradigma kenormalan baru saat ini.

Harizal berujar, properti seperti apartemen, hotel, perkantoran, shopping center, bahkan lahan industri membutuhkan format baru dan perlu dilakukan perubahan ke depannya.

Pergeseran pemaknaan ini memaksa partisipan pasar untuk meninjau ulang produk propertinya. Tak hanya berfokus pada pemotongan biaya dan harga, pengembang harus mampu berinovasi untuk bisa bertahan menghadapi persaingan dan kondisi pasar yang masih tidak menentu.

“Mungkin saja pembangunan perumahan dengan sistem kluster akan semakin berkembang dengan konsep rumah pintar atau smart home. Desain sirkulasi udara dengan konsep smart building akan menjadi pilihan menarik bagi pengembangan ruang kantor di masa yang akan datang,” ucapnya.

Implementasi teknologi yang memungkinkan penghuni tak bersentuhan langsung dengan tombol-tombol elevator atau pintu masuk yang dilengkapi dengan sistem sensor otomatis juga akan menjadi faktor permintaan yang menarik.

Sama halnya dengan model bisnis, misalnya perubahan tarif rental konvensional menjadi sharing fee atau gross turnover, yakni biaya rental akan bergantung pada pendapatan kotor tenant mungkin akan menjadi strategi menarik bagi pengusaha ruang ritel untuk mempertahankan tingkat okupansinya.

“Termasuk skema pemasaran yang harus lebih banyak memanfaatkan saluran digital dibandingkan tatap muka langsung,” kata dia menjelaskan.

Namun, tentu saja pengembangan itu membutuhkan tambahan biaya. Selain inovasi, Harizul berpendapat, penurunan harga mau tak mau akan terjadi sebagai satu proses yang harus dilalui untuk memantik tingkat permintaan agar naik kembali di tengah kondisi seperti ini.

Pada titik inilah, Harizal menilai, pasar akan menguji titik keseimbangan barunya, apakah harga akan semakin mendekati nilai, atau justru semakin menjauhi nilai.