Menang Pilkada Di Era Pandemi Covid 19

OPINI057 views

Inionline.id–Opini–Di tengah ketidakpastian kapan pandemi coronavirus (Covid-19) akan berakhir, Pemerintah, DPR, dan Penyelenggara Pemilu sepakat menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 pada 9 Desember 2020. Ini menjadi Pilkada bersejarah karena untuk pertama kalinya digelar dalam kondisi tidak biasa, dimana jutaan jiwa diintai virus mematikan setiap saat dan negara diintai krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia menghadapi tekanan mendalam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain dihadapkan pada masalah kesehatan dan ekonomi, saat bersamaan ia dituntut konsisten berpijak pada dasar- dasar yang menyangga tatanan demokrasi. Salah satu dasar itu adalah hajatan demokrasi yang menjadi agenda rutin. Bisa dibayangkan, ada 270 daerah yang akan dipimpin kepala daerah berstatus pelaksana tugas (Plt) dengan kewenangan terbatas jika Pilkada 2020 ditunda terlalu lama.

Selain Indonesia, negara demokrasi lain juga menghadapi tekanan serupa. Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat, setidaknya ada 59 negara yang dihadapkan pada kondisi sulit terkait hajatan demokrasi di masa pandemi. Pilihan sulit karena sesuai agenda harus dilaksanakan pada saat dimana pandemi belum berakhir. 51 negara diantaranya memilih menunda. Tetapi delapan negara memilih tetap menyelenggarakannya. Satu dari delapan negara itu adalah Korea Selatan.

Korsel menggelar Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 15 April 2020. Meski dinilai berhasil mengendalikan sebaran Covid-19, bukan berarti Korsel sudah bebas betul dari virus ini. Masih ada tiga ribu lebih pasien positif saat Pileg digelar pada 15 April 2020. Tetapi kampium demokrasi Asia Timur ini tidak mau menyerah. Hasilnya, mereka sukses menggelar Pileg dengan angka partisipasi yang sangat tinggi, 66%. Menigkat 8,1 dari tahun sebelumnya, dan menjadi yang tertinggi sejak 1992.

Kesuksesan Korsel memberikan harapan kepada kita, bahwa hajatan demokrasi bisa berjalan meski pandemi belum berakhir. Tentu dengan segala perubahan dan inovasi yang dilakukan di dalamnya. Pandemi membuat semuanya berubah, termasuk pelaksanaan hajatan demokrasi. Sebab selain memastikan semua tahapan berjalan lancar, kompetisi berlansung fair dan berkualitas, juga tidak menjadi klaster baru penambahan kasus positif Covid-19.

Tantangan Pilkada 2020
Kita bisa meniru sejumlah inovasi Korsel, tetapi tidak secara mentah. Indonesia dan Korsel adalah dua negara yang berbeda dalam banyak hal, mulai dari budaya politik hingga sistem ketatanegaraan.

Yang paling krusial, Indonesia dan Korsel berbeda sangat jauh dalam pra kondisi pelaksanaan pemilihan. Saat Korsel menggelar Pileg, kepercayaan publik terhadap pemerintah, penyelenggara (NEC), maupun kepada partai politik cukup tinggi. Berbeda dengan Indonesia. Pilkada 2020 berlangsung di saat kepercayaan publik sedang rendah, baik kepada pemerintah sebagai penanggungjawab, KPU sebagai penyelenggara, maupun kepada partai politik sebagai peserta.

Kepercayaan publik yang tinggi membuat kerja politik berjalan efektif di Korsel. Saat Komisi Pemilihan Nasional (NEC) mengajak pemilih menyalurkan hak pilihnya, mereka percaya NEC dan pemerintah sudah menjamin keselamatannya dari sebaran Covid-19. Saat datang ke TPS, NEC dengan mudah meminta pemilih mematuhi Kode Perilaku Pemilih, yang memuat instruksi mendetail untuk mencegah sebaran Covid-19. Partai politik juga mematuhinya. Kampanye konvensional berbentuk pengumpulan massa dihindari. Beralih ke kampanye digital yang inovatif, tanpa sentuhan fisik tapi menjangkau target pemilih.

Tanpa kepercayaan publik yang tinggi, semua itu sulit dijalankan. Dan itulah yang terjadi di Indonesia. Semua nampak serba sulit. Misalnya, yang paling menyedihkan, alih-alih menerapkan protokol kesehatan secara sukarela, yang terjadi adalah perebutan paksa jenazah pasien Covid-19 di sejumlah daerah. Mereka tidak percaya pasien itu benar-benar meninggal karena virus mematikan. Ketidakpercayaan pada pemerintah, mengular pada ketidakpercayaan terhadap tenaga medis.

Ketidakpercayaan ini juga akan melahirkan tindakan-tindakan destruktif dalam Pilkada 2020. Penentu keberhasilan Pileg di Korsel adalah kepercayaan tinggi, yang melahirkan kepatuhan pada sejumlah aturan yang dibuat, sehingga kerja politik berjalan sesuai tujuan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Inilah tantangan utama penyelenggara pemilu. Kepercayaan terhadap penyelenggara harus dipulihkan sebelum semua tahapan dilanjutkan.

Inovasi Dalam Kompetisi

Selain kepercayaan publik, yang juga menentukan sukses Pileg di Korsel adalah sikap partai politik dan kandidat. Sebagai peserta, partai dan kandidat memegang peranan penting dalam perjalanan kompetisi. Sejak awal meraka menyadari bahwa ini bukan kompetisi di masa normal. Secara sukarela mereka mengubah cara-cara berkampanye, dari metode konvensional ke metode baru yang lebih inovatif tanpa sentuhan fisik.

Kesadaran serupa harus dimiliki oleh partai politik dan kandidat yang berlaga pada Pilkada 2020. Kurva sebaran Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Ini harus disadari dengan membuat strategi dan model kampanye yang sesuai dengan kondisi pandemi. Kampanye akbar di lapangan terbuka maupun pidato terbatas di ruangan, bahkan kampanye dari rumah ke rumah (door to door) yang biasanya dilakukan di masa normal, itu semua membutuhkan kedekatan fisik dan karenanya hindari di masa pandemi ini.

Di Korsel, metode yang banyak dipakai adalah kampanye berbabis teknologi digital dan internet. Umumnya, partai politik dan kandidat menyampaikan pesan-pesan politik lewat video menarik yang disebar di media sosial. Selain itu, tidak sedikit yang menggunakan teknologi augmented reality (AR) untuk berinteraksi jarak jauh secara virutal dengan pendukung dan target pemilih. Kampanye offline tidak semuanya ditanggalkan, tetapi dilakukan secara inovatif. Misalnya, mengampanyekan gerakan bersih-bersih lingkungan dan penyemprotan disinfektan di tempat-tempat publik.

Selain metode, pemilihan isu dan konten kampanye juga menjadi faktor penentu. Debat publik dan isu sentral yang mewarnai jalannya kompetisi adalah masalah penanganan pandemi Covid-19.

Di Korsel, kemenangan telak Partai Demokrat tidak bisa dilepaskan dari kapitalisasi isu keberhasilan Presiden Moon Jae In dalam menanggulangi Covid-19. Di awal kompetisi, Partai Persatuan Masa Depan yang menjadi oposisi sempat unggul dalam sejumlah survei. Keunggulan itu dikarenakan partai ini berhasil menyerang pemerintah yang pada awalnya lambat mengantisipasi sebaran Covid-19. Namun, kondisi berbalik setelah pemerintah membuktikan kerjanya. Partai Demokrat lalu memperoleh 180 dari 300 kursi di parlemen. Perolehan terbesar sejak transisi demokrasi 1987.

Tidak hanya di Korsel, keberhasilan penanganan Covid-19 juga berbanding lurus dengan elektabilitas kandidat di sejumlah negara. Di Amerika Serikat misalnya, sebelum pandemi, elektabilitas Donald Trump cukup tinggi. Tetapi survei terbaru dari lembaga FiveThirtyEight bekerjasama dengan The New York Times menunjukan, elektabilitasnya kini turun sebesar 13,2%. Dalam survei yang dipublikasi pada 9 Juni 2020 itu, elektablitas Trump sudah kalah oleh kandidat presiden AS dari Partai Demokrat, Joe Biden. Biden kini diunggulkan dengan selisih sekitar 10% dari Donald Trump.
Di tengah ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 akan berakhir, psikologi pemilih cenderung mendukung mereka yang dianggap mampu menangani virus yang berawal dari Wuhan ini. Di Indonesia juga begitu. Pemilih di 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 akan melihat siapa di antara kandidat dan partai yang meyakinkan dalam menawarkan program penanggulangan pandemi.

Pandemi membuat semuanya berjalan tidak normal. Dalam ketidaknormalan itu semua merindukan kenormalan. Hajatan demokrasi yang berlangsung di masa ini harus berlangsung dalam semangat mewujudkan kerinduan itu menjadi kenyataan. Kompetisi tidak saja menyesuaikan dengan kondisi pendemi, tetapi saat bersamaan berlangsung dalam visi mengembalikan keadaan normal dengan tawaran meyakinkan dalam penanggulangan Covid-19.

Oleh : Abdul Hamid, Direktur Visi Indonesia Strategis