Intip Protokol Krisis Ekonomi yang Menjadi Pegangan Sri Mulyani

Ekonomi057 views

Jakarta, Inionline.id – Ekonomi global saat ini dibayangi ketidakpastian di tengah pandemi virus corona (Covid-19), tak terkecuali Indonesia. Belum lagi efek perang dagang AS dan China, ditambah harga minyak dunia yang anjlok. Kondisi itu membuat Indonesia harus siap menghadapi krisis ekonomike depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku tengah memantau perkembangan kondisi ekonomi Indonesia terkini dengan protokol manajemen krisis yang diterapkan saat terjadi krisis keuangan pada 2008.Namun, protokol itu disesuaikan dengan kondisi terkini.

“Dampak terbesar dari corona ke sektor keuangan adalah melalui suku bunga, nilai tukar, pinjaman yang mungkin macet, dan berbagai sentimen psikologis juga akan kami masukkan ke dalam protokol yang sedang kami tingkatkan. Kami tingkatkan level kewaspadaannya,” ujar Sri Mulyani, Jumat (20/3) lalu.

Sebagai pengingat, keuangan global mengalami krisis pada 2008/2009 lalu. Krisis dipicu oleh ledakan kredit macet di Amerika Serikat (AS). Bagi Indonesia, krisis membuat pertumbuhan ekonomi turun dari 6,01 persen pada 2008 menjadi 4,63 persen.

Indonesia mampu menahan perlambatan ekonomi lebih dalam karena struktur ekonominya sebagian besar ditopang oleh sektor konsumsi domestik.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan situasi ekonomi yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan krisis keuangan 2008-2009. Begitu pula dengan kondisi krisis moneter 1998 silam yang membuat nilai tukar rupiah anjlok dan harga sembako melambung.

Pengalaman dalam dua periode krisis keuangan tersebut telah mengajarkan Indonesia pentingnya sebuah protokol manajemen krisis, sebagai sistem aturan yang menjelaskan prosedur yang dianggap benar dan harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal.

Melansir situs Bank Indonesia (BI), Protokol Manajemen Krisis (PMK) dalam sistem keuangan akan membantu lembaga keuangan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat.

PMK di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Secara umum, PMK tersebut diimplementasikan dalam 2 (dua) lingkup utama yaitu pencegahan krisis dan penanganan krisis.

Berdasarkan UU PPKSK, amanat pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dipegang oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan Kementerian Keuangan (kepala KSSK), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antar otoritas dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan SSK. KSSK mendapatkan amanat untuk memperkuat peran, fungsi, dan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan kondisi krisis sistem keuangan, serta penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.

Upaya pencegahan krisis dilakukan dalam bentuk pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan yang meliputi meliputi 9 (sembilan) subprotokol yaitu: subprotokol fiskal dan pasar SBN (di bawah kewenangan Kementerian Keuangan); subprotokol moneter-nilai tukar, makroprudensial dan sistem pembayaran (di bawah kewenangan BI); subprotokol perbankan, pasar saham dan IKNB (di bawah kewenangan OJK); serta subprotokol penjaminan simpanan (di bawah kewenangan LPS).

Dengan demikian, BI tidak dapat lagi memberikan kredit likuiditas dalam rangka kredit program. Padahal, menurut Boediono, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dibutuhkan.Saat krisis moneter tahun 1998, Indonesia belum memiliki alat yang memadai untuk memitigasi kondisi krisis. Namun, dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, disebutkan BI memiliki status sebagai otoritas moneter yang independen. Lembaga tersebut berperan dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, agar dapat membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada masa itu.

Berkaitan dengan hal tersebut, BI bertugas melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan, mengelola cadangan devisa untuk memenuhi kewajiban luar negeri, memelihara keseimbangan neraca pembayaran dan dapat juga menerima pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri dapat dilakukan lewat pinjaman pemerintah ataupun swasta.

Kementerian Sekretariat Negara dalam situs resminya yang diperbarui pada April 2008 lalu mencatat persiapan RI dalam menggarap protokol krisis. Menko Perekonomian pada masa itu, Boediono, mengatakan, kala krisis 1998 program restrukturisasi perbankan yang dilakukan.

Dalam UU 23/1999 tentang Bank Indonesia pasal 74 dinyatakan bahwa, “Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program yang masih berjalan dan belum jatuh tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik, dialihkan berdasarkan suatu perjanjian kepada Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk Pemerintah.”

Dalam UU 23/1999 pasal 76 dinyatakan bahwa BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang kecuali untuk keperluan pembiayaan restrukturisasi perbankan. Pembiayaan restrukturisasi perbankan pada ayat tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selain itu, BI juga berfungsi sebagai lender the of last resort untuk membantu mengatasi ketidakcocokan yang disebabkan oleh risiko kredit atau risiko pembiayaan. Namun, pemberian kredit program tidak lagi menjadi tugas B

BI ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, dengan menjaga kelancaran sistem pembayaran. BI juga diharuskan membangun sistem kelembagaan yang kuat dan independen dalam mengelola dan mendayagunakan devisa.

Sementara, program penjaminan pemerintah juga diberlakukan kala itu dianggap telah berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan.

Pengalaman dalam menangani krisis pada tahun 1997-1998 dan 2008-2009 tentunya dapat menjadi pelajaran dalam mencegah krisis di masa mendatang. Pemerintah menyadari perlunya mekanisme koordinasi, pertukaran informasi, dan mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka pencegahan dan penanganan yang diundangkan.

Namun, dampak krisis di masa mendatang pun akan semakin besar mengingat kemajuan bidang ekonomi dan keuangan yang demikian pesat sehingga dapat memberikan efek menular yang luas dan cepat. Untuk itu, protokol manajemen krisis yang tepat perlu terus dikembangkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *