Di Tengah Wabah Corona Ini Dilema Mahasiswa Kelas Internasional

Pendidikan357 views

Inionline.id Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat setidaknya ada 832 perguruan tinggi di 166 daerah yang sudah melakukan pembelajaran secara daring untuk menekan penyebaran covid-19 atau penyakit virus corona.

Selain mengubah perkuliahan tatap muka menjadi jarak jauh. Kebijakan sejumlah kampus menanggapi pandemi corona di Indonesia dan global juga berpengaruh pada kegiatan perkuliahan mahasiswa lainnya.

Seperti yang dialami sejumlah mahasiswa Kelas Khusus Internasional (KKI) di Universitas Indonesia, misalnya. Kegiatan studi mereka turut terdampak karena kebijakan kampus dan himbauan pemerintah.

Sebagai catatan, mahasiswa KKI  UI diwajibkan kuliah di luar negeri selama enam bulan hingga dua tahun. Ini merupakan syarat mutlak lulus yang ditetapkan kampus.

UI bukan satu-satunya kampus yang menerapkan program seperti ini. Hal serupa juga bisa didapati di Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada sampai Universitas Brawijaya.

Rayhan (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa Fakultas Teknik program KKI yang seharusnya melanjutkan studi ke Jepang, harus merelakan rencananya tersebut.

Padahal, ia seharusnya berangkat Rabu (25/3) pekan depan. Semua persiapan mulai dari visa, tiket pesawat, biaya hidup sampai biaya kuliah sudah dipersiapkan. Rayhan sudah menghabiskan Rp7,5 juta di luar uang kuliah, untuk berangkat ke Jepang.

“Kami sudah pikir bakal berangkat. Sampai ada surat edaran dari kampus [menyatakan kami nggak bisa berangkat]. Tapi gue [awalnya] enggak tahu itu benar apa enggak, karena gue dapetnya dari group Line sama temen-temen. Bukan dari dosen atau website resmi,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/3).

Dalam surat edaran tersebut, pihak kampus menyatakan mahasiswa KKI tidak boleh berangkat ke luar negeri untuk meneruskan studi. Namun tidak dijelaskan kelanjutan nasib studi mereka.

Ia pun akhirnya menghadap ke pihak kampus, untuk mencari kejelasan terkait studinya. Seharusnya mulai April nanti Rayhan dan teman seangkatannya mulai berkuliah di Tokyo, Jepang.

Dari pertemuan tersebut ia mendapat tiga opsi dari kampus. Pertama melakukan kelas online dari universitas yang dituju. Kedua, melanjutkan studi di semester berikutnya. Ketiga, berangkat semester ini namun mendapat sanksi dan pihak kampus tidak bertanggung jawab akan studi mahasiswa di sana.

Opsi pertama jadi pilihan paling menguntungkan. Namun sayangnya universitas yang dituju Rayhan dan teman-temannya tidak membuka kelas online.

“Kami jadi bingung juga. Berkaca daftar exchange [di universitas di luar negeri] itu enggak bisa langsung segampang itu. Prosesnya lama dan sekarang ini di luar negeri universitas sudah pada mulai perkuliahan,” ujarnya.

Opsi ketiga sudah dipastikan tak jadi pilihan untuk Rayhan. Sedangkan opsi kedua artinya ia harus telat lulus setengah tahun karena syarat lulus di kampusnya mewajibkan kuliah di luar negeri.

Hal ini sulit untuk diterima Rayhan. Pasalnya ia tak mau terus membebani orang tua. Biaya kuliahnya selama ini sudah sangat mahal, yakni bisa mencapai Rp20 juta per semester. Sejak semester awal ia sudah mengejar proses belajar supaya bisa lulus tepat waktu.

“Sekarang kita belum tahu kelanjutannya gimana. Harus mencari lagi universitas yang buka kelas online. Padahal sudah mepet banget,” keluhnya.

Kebingungan juga dirasakan Acha (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik program KKI. Berbeda dengan Rayhan, ia sudah berhasil berangkat ke Brisbane, Australia sejak enam bulan lalu.

Tahun ini seharusnya jadi tahun terakhir Acha merantau di negara orang sampai dinyatakan lulus sarjana. Namun, pekan lalu, ia mendapat email dari kampusnya di sana, University of Queensland, bahwa ada mahasiswa yang dinyatakan positif corona.

Tak selang lama perkuliahan diliburkan. Surat edaran menyatakan kampus libur hingga Senin pekan depan. Namun, tiga mata kuliah yang sedang ditempuh menyatakan kelas akan digelar secara daring.

“Tapi gue ada empat course. Dua course katanya bakal online the whole semester. Satu lagi online tapi belum tahu sampai kapan. Dan satu belum ada kepastian. Jadi kami mau pulang juga bingung. Belum lagi katanya Australia tutup border,” tuturnya.

Acha mengaku pihak kampus belum ada yang bicara terkait nasib mereka yang sudah ada di luar negeri. Padahal orang tua dari beberapa rombongan mahasiswa di Brisbane sudah mulai panik dan meminta anak-anaknya pulang ke Indonesia.

“Kampus sejujurnya dari kemarin nggak ada kontak ke kami. Kami punya grup line dan WA sama sekretaris kampus yang ngurus anak-anak KKI. Tapi enggak ngomong apa-apa. Mungkin lagi concern sama yang enggak bisa berangkat,” cerita Acha.

Imbauan baru datang dari pihak agent yang bekerja sama dengan kampus, kata Acha, yang menyatakan baiknya mereka tetap di Brisbane. Ini untuk menghindari kemungkinan terpapar virus di perjalanan.

Salah satu teman Acha yang juga mahasiswa KKI, bahkan sedang diisolasi di tempat tinggalnya di sana karena sempat kontak dengan mahasiswa positif corona di UQ.

Rektor UI Ari Kuncoro mengatakan kebanyakan mahasiswa KKI di kampusnya melanjutkan studi ke Australia. Dan di sejumlah universitas di Australia sudah mulai memberlakukan kelas online.

“[Untuk yang ke negara lain] Biasanya itu dinegosiasi dulu dengan partner mitranya. Tapi mayoritas mahasiswa kita kan ke Australia. Dan Australia kooperatif lah tahu situasinya seperti ini,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Terpisah Plt. Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Jakarta Samsuri mengatakan pemerintah memang menginstruksikan agar perguruan tinggi menunda keberangkatan mahasiswa yang akan ke luar negeri.

“Ada beberapa kampus kami juga sama ada yang melakukan program ke luar negeri. Mereka ada yang akhirnya tertahan. Nah ini [sedang] dibahas. Jadi karena ini sifatnya darurat ya tentu program-program kuliah lapangan yang berpotensi menyebabkan sentuhan, singgungan dengan masyarakat yang berpotensi penularan covid-19 dihindari,” jelasnya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan semua pihak harus memikirkan solusi terkait kendala yang menjadi dampak insiden ini. Dinas Pendidikan dan Perguruan Tinggi, menurut Nadiem, harus memberikan prosedur teknis yang jelas mengenai perubahan sistem pembelajaran.

“Ini kan kewenangan masing-masing Dinas Pendidikan ataupun Perguruan Tinggi. Bisa diatur lebih lanjut detil prosedurnya, mekanismenya. Apa-apa saja yang menjadi hak dan tanggung jawab masing-masing. Sehingga ada kejelasan dan tidak terjadi kebingungan. Pemda perlu konsisten memberikan arahan mengenai hal ini,” ujarnya melalui keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *