Ancaman Ekonomi dari ‘Lockdown’ Virus Corona

Ekonomi157 views

Jakarta, Inionline.id – Penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia terus meluas. Saat ini, setidaknya sudah ada 117 kasus positif di Tanah Air dengan delapan orang sembuh dan lima orang meninggal.

Teranyar, virus sudah sampai ke kalangan pejabat negara. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif virus corona.

Tak ingin kasus positif terus bertambah, pemerintah daerah hingga pusat pun mulai menerapkan kebijakan beraktivitas dan bekerja di rumah. Kebijakan mulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Dengan kondisi ini, saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah,” ucap Jokowi, akhir pekan lalu.

Aktivitas sekolah hingga acara keagamaan banyak yang mulai dilakukan di rumah. Masyarakat mulai menjaga jarak dengan sesama hingga menjauhi pusat keramaian (self distancing).

Wacana penutupan akses wilayah terdampak virus corona (lockdown) pun muncul agar masyarakat tidak mendekat ke pusaran virus, yaitu Jakarta. Hal itu dinilai perlu dilakukan karena jumlah kasus di ibu kota cukup tinggi dibanding daerah lain.

Kendati begitu, kepala negara mengaku belum terpikir untuk mengambil langkah itu, padahal sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut ampuh dalam menghambat penyebaran virus. Keampuhan tersebut mengacu pada apa yang sudah terjadi di Kota Wuhan, sumber virus corona.

Setelah pemerintah China mengambil langkah lockdown, penyebaran wabah mulai bisa dikurangi.  Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai langkah tersebut bisa membuat laju perekonomian akan semakin berat. Pasalnya, dengan kebijakan self distancing yang kadar pembatasan pergerakan masyarakat akibat virus corona lebih renda saja, tingkat konsumsi masyarakat bisa turun tajam.

“Mungkin yang memang paling berat kalau orang sampai work from home (kerja dari rumah) segala macam kan consumption (konsumsi) ya,” ungkapnya melalui unggahan di akun Instagram pribadinya.

Bila tingkat konsumsi berkurang, maka pertumbuhan beberapa indikator penopang ekonomi pun akan mulai berguguran. Maklum saja, perekonomian nasional sangat bergantung pada laju konsumsi masyarakat yang kini jumlahnya 260 juta orang ini.

“Semua tahu begitu consumption turun ke 4 persen, maka turun semua ke kisaran 4 persen, kalau dia turun ke 3 persen, semuanya ikut ke 3 persen,” ujarnya.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan kebijakan self distancing memang mau tidak mau sudah harus diterapkan. Sebab, rata-rata penyebaran virus corona di dalam negeri setidaknya mencapai 2,91 persen setiap jam.

Indonesia, katanya, tentu tidak ingin seperti Italia dan Iran, yang ‘telat’ mengantisipasi penyebaran virus corona sampai akhirnya mau tidak mau menerapkan lockdown. Sementara itu, Indonesia bisa belajar dari China, yang merelakan laju perekonomiannya demi memutus mata rantai virus.

“Tapi rasanya tidak perlu lockdown, masih cukup social distancing. Keputusan lockdown sebaiknya tetap mengacu pada jumlah kasus serta kemampuan jaminan sosial dan tenaga medis,” kata Fithra kepada CNNIndonesia.com.

Sebab, lockdown akan sangat memukul laju ekonomi Indonesia secara jangka pendek. Hal ini karena kota dengan kasus terbanyak virus corona ialah Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan perdagangan Indonesia.

Sementara kota-kota lain yang juga memiliki sejumlah kasus corona, merupakan kota-kota di Pulau Jawa, yang lagi-lagi menjadi penggerak roda ekonomi dalam negeri. Kondisi ini berbeda dengan kebijakan lockdown di China, di mana kota yang ditutup adalah Wuhan.

Sedangkan, pusat bisnis seperti Shanghai dan Beijing tetap bisa berjalan, meski sempat menerapkan kebijakan kerja dari rumah. “Bahkan, pariwisata yang menyebar saja sudah langsung dirasakan penurunannya oleh masing-masing daerah, apalagi bila Jakarta yang harus lockdown, itu pusat ekonomi Indonesia, pasti langsung turun,” tuturnya.

Bila daerah akan terpengaruh dari sisi pariwisata dan perhotelan, maka Jakarta akan terpukul dari sisi industri jasa keuangan dan jasa lainnya. Bila itu terjadi, masalah tersebut akan menekan industri pengolahan dan perakitan. Pasalnya kondisi tersebut akan membuat aliran modal tersendat.

“Mungkin Jakarta hanya akan tumbuh sekitar 4 persen dari biasanya selalu di atas ekonomi nasional 5 persen, biasanya Jakarta bisa 6 persen, nanti jatuh,” imbuhnya.

Sektor yang juga bisa ‘tak selamat’ bila self distancing bahkan lockdown diberlakukan adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Khususnya, para pedagang kaki lima.

“Mungkin hanya UMKM yang sudah terhubung platform delivery online yang bisa bertahan, mayoritas di bidang kuliner. Begitu pula dengan e-commerce, itu masih bisa meningkat justru,” terangnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan pemerintah memang sudah harus mengambil kebijakan baru yang lebih berdampak untuk menurunkan tingkat penyebaran virus corona. Saat ini, pemerintah hanya fokus pada penanggulangan dampak corona terhadap ekonomi.

“Sayangnya insentif yang baru diumumkan pemerintah tidak efektif, karena hanya mencoba mengurangi dampak ekonomi dari Covid-19. Padahal insentif harus diarahkan untuk mengatasi inti masalah, yakni penyebaran Covid-19,” ungkapnya.

Kendati begitu, langkah lockdown belum perlu dilakukan. Menurutnya, masih cukup social distancing saja. Namun memang, pemerintah dituntut bisa bekerja efektif dengan cara tersebut. Artinya, infrastruktur dan jaringan internet perlu dibuat memadai agar kerja online bisa dilakukan.

“Kementerian Ketenagakerjaan perlu menyusun pola komunikasi digital, sehingga penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan dan aktivitas ekonomi segera recover,” imbuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *