SKSG UI Gelar Diskusi Konflik Suriah dan Transmisi Ekstrimisme di Indonesia

JAKARTA – Bertempat di lantai 4 Gedung SKSG Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) mengadakan diskusi bersama Ahsin Mahrus, Lc., MA selaku Dewan Konsulat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah. Beliau merupakan WNI yang telah tinggal di Suriah sejak 2003 dan memiliki banyak pengalaman di Suriah. Acara dihadiri oleh Dosen, Mahasiswa dari SKSG UI dan beberapa universitas lain.

Acara diskusi berlangsung selama hampir tiga jam diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dalam kata sambutannya, Muhamad Syauqillah P.hD, selaku Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI menyatakan, bahwa Timur Tengah memang menjadi penting bagi Indonesia. Menurutnya, apapun yang terjadi di Timur Tengah pasti menjadi perhatian publik Indonesia. 

“Hal ini terjadi karena Indonesia yang secara mayoritas beragama Islam memiliki relasi historis cukup panjang, terutama soal transmisi keilmuan. Namun sayangnya, transmisi keilmuan yang telah berjalan berabad lamanya memunculkan sebuah anomali, yakni ekstrimisme.” Jelas M.Syauqillah dalam kesempatan tersebut.

Sementara saat membuka diskusi Ahsin Mahrus, Lc., MA selaku Dewan Konsulat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah menampilkan fakta geopolitik Suriah yang dicap tidak seberuntung negara lain. Suriah berbatasan dengan Israel (hingga hari ini masih dalam status berperang), juga berbatasan dengan Lebanon yang menjadi tempat perseteruan antar Iran dan Arab Saudi. 

“Arab Saudi dan Iran memiliki agenda untuk menjadi pemimpin Kawasan. Arab Saudi membangun Gulf Cooperation Council (GCC) setelah tidak berdaya di Liga Arab. Iran juga membangun aliansi dengan faksi Syiah di beberapa negara,” ungkapnya. 

Dalam pembahasannya, Ahsin menekankan untuk membaca konflik di Suriah atau umumnya konflik di Timur Tengah merupakan konflik “kepentingan”, bukan konflik agama. “Contohnya bagaimana Mesir dan Suriah awalnya sama-sama mengusung ide nasionalisme Arab, tapi mulai berseteru akibat kebijakan Suriah terkait pipa minyak dari Iran menuju Eropa,,” ungkapnya. 

Fakta lain yang dipaparkan adalah terkait geografi wilayah yang dikuasai beberapa faksi. Saat pecah Arab Spring dan deklarasi ISIS, pemerintah Asad hanya menguasai 20 persen wilayah Suriah. Konflik kepentingan jelas terasa di Suriah, dicontohkan terkait jual beli senjata yang massif di wilayah perbatasan, perpindahan milisi atau foreign terrorist fighter (FTF) yang berasal dari negara teluk. 

Ahsin menjelaskan, kasus Ghouta saat dibebaskan oleh tentara Suriah, mayoritas milisi justru bukan orang Suriah, melainkan FTF dari Eropa dan negara teluk. Dengan dinamika konflik yang berkepanjangan, lanjutnya, konflik Suriah dapat dilihat sejak pemberontakan kelompok Ikhwanul Muslim di Hamma pada 1983. Masalah lain adalah suku Kurdi di Utara Suriah. Sehingga, saat pemberontakan FSA, simpatisan IM banyak ikut serta untuk membalas kejadian 1983. 

“Konflik ini makin pelik saat ISIS mulai menyerang dari Irak, Raqqah menjadi basis ISIS. Konflik kepentingan ini makin menjadi saat agama menjadi bumbu. Konflik, ini justru dibumbui dengan konflik Sunni-Syiah, padahal ulama besar Suriah, menegaskan ini bukan konlik sektariana,” tandas Ahsin.

Masih kata Ahsin, saat konflik terjadi, daerah Aqqah menjadi basis ISIS, Aleppo menjadi basis FSA, Damaskus basis pemerintahan, sedangkan Kobane menjadi basis Kurdi. Hal ini makin pelik karena banyak negara yang menjadikan Suriah sebagai ladang Proxy War (perang pengaruh) terutama antara Amerika dan Rusia, Iran dan Arab Saudi. “Kurang lebih, terdapat 100 faksi yang bertikai di Suriah yang memiliki agenda masing-masing sesuai kepentingan donator,” ungkap Ahsin Mahrus. 

Keterangan yang diperoleh awak media ini, kegiatan diskusi dilaksanakan untuk penjelasan lebih detil mengenai transmisi ekstrimisme dari Suriah ke Indonesia. Terkait hal ini, Ahsin menjelaskan bahwa banyak WNI yang terjebak doktrin kelompok radikal sehingga banyak yang bertempur di Suriah. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah saat para milisi asal Indonesia ini dikembalikan ke Indonesia. 

“Karena tentu akan mentransfer pengetahuan terkait aksi radikal mereka di Suriah. Hal lain yang dijabarkan terkait kesholehan kelompok radikalis. Mereka mengaku paling sholeh, padahal nyatanya, banyak aturan agama yang dilanggar habis, seperti jihad nikah (perempuan dinikahkan dengan beberapa lelaki dalam satu malam).” Pungkasnya. (MUL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *