Mencabut 51 Pemendagri Yang Menghambat Birokrasi

IniOnline.id – “Hari ini saya mengumumkan mencabut 51 Permendagri (Permendagri) yang menghambat birokrasi dan yang rantai birokrasinya cukup panjang,” pernyataan tersebut diucapkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat memberi arahan dalam Rapat Koordinasi Gubernur, Sekda dan Kepala Kesbangpol se-Indonesia, di Hotel Bidakara, Rabu (7/2).

Permendagri yang telah dibatalkan, kata Tjahjo mencakup berbagai bidang antara lain, bidang pemerintahan, kepegawaian, penanggulangan bencana, perpajakan, komunikasi dan telekomunikasi, pelatihan dan pendidikan, usaha mikro kecil dan menengah, wawasan kebangsaan, kepamongprajaan, dan bidang perencanaan pembangunan dan tata ruang, kemudian yang berkaitan dengan masalah perizinan dan penelitian atau riset. Menurut Tjahjo, ini adalah tahap awal mengefesienkan serta mengefektifkan tata kelola pemerintahan, sesuai arahan langsung Presiden Jokowi. Meski diakuinya, pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kewenangan Mendagri dalam membatalkan Peraturan Daerah, program deregulasi yang digulirkan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sedikit banyak terhambat.

“Saya kira ini tahap awal dan karena keputusan MK yang kaku membatalkan Perda, kami menyerahkan sepenuhnya kepada bapak gubernur, bupati walikota kalau masih ada perda-perda yang menghambat investasi, perizinan, atau terlalu birokratis agar dipotong (pangkas), ” kata Tjahjo.

Bicara deregulasi, memang sejak awal mulai menjabat sebagai Presiden, Jokowi langsung ‘menggebrak’ menggulirkan program deregulasi. Tjahjo Kumolo sebagai Mendagri, jadi ujung tombak deregulasi. Hasilnya, cukup mencengangkan, sebanyak 3.143 perda yang dibatalkan. Yuswandi Arsyad Temenggung, Sekretaris Jenderal Kemendagri saat itu, mengungkapkan dari total 3.143 perda yang dibatalkan, sebanyak 1765 aturan merupakan peraturan di tingkat provinsi, sisanya 1267 aturan yang dibuat pemerintah kabupaten dan kota. Tidak hanya, Yuswandi juga mengungkapkan ada 111 Permendagri yang ikut dibatalkan.

“Ada 111 aturan tingkat kementerian atau Permendagri,” kata Yuswandi ketika itu.

Soal aturan yang tumpang tindih, sejak awal menjabat sebagai Mendagri, Tjahjo selalu menyinggung itu. Tjahjo pernah bercerita, ketika awal menjabat, instruksi pertama kali yang dititahkan Presiden Jokowi padanya, adalah melakukan deregulasi. Karena nyatanya ada puluhan ribu aturan yang membuat ekonomi di Indonesia berbiaya tinggi. Kata Tjahjo ketika itu, setidaknya ada 42.633 peraturan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Dan, ada 3000 lebih perda yang bermasalah. Ribuan perda bermasalah itu yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Bertentangan dengan kepentingan umum. Subtansinya tumpang tindih. Menghambat investasi dan birokrasi. Serta diskriminatif.

Seperti diketahui sejak awal mulai menjalankan roda pemerintahan, Presiden Jokowi sudah mencanangkan tekad menjadikan bangsa Indonesia, bangsa yang kompetitif. Terlebih, Indonesia sudah masuk dalam komunitas Masyarakat Ekonomi Asean, yang menuntut daya saing dengan negara tetangga lainnya. Kemudahan berusaha dan berinvestasi jadi salah satu yang diprioritaskan di era Jokowi. Program deregulasi pun digulirkan. Karena faktanya, terdapat puluhan ribu aturan baik yang dibuat pemerintah pusat dan daerah yang tumpang tindih. Bahkan saling bertentangan satu sama lain. Di samping, banyak aturan yang terlalu birokratis, hingga membebani pelaku usaha. Iklim usaha dan investasi pun tak sehat, dengan banyaknya pungutan yang membuat ekonomi berbiaya tinggi. Urusan juga berbelit-belit. Pada akhirnya daya saing Indonesia melemah. Wajah Indonesia pun dipandang buruk para investor. Deregulasi pun digenjot.

Dan, Senin sore, 13 Juni 2016, Presiden Jokowi, akhirnya mengumumkan pembatalan sebanyak 3143 perda yang dianggap bermasalah. Ribuan perda yang dibatalkan itu dinilai banyak menghambat dan memperburuk iklim investasi. Izin usaha bertele-tele. Pungutan liar marak dan lain-lain.

“Saya sampaikan Mendagri sesuai kewenangannya telah dibatalkan 3143 perda yang bermasalah,” kata Presiden Jokowi saat menggelar jumpa pers di Istana Negara, di Jakarta.

Saat itu, Tjahjo menegaskan, pembatalan ribuan perda semata demi untuk membuat wajah ekonomi Indonesia tak lagi bopeng di mata investor. Dan, lebih jauh dari itu, agar bangsa Indonesia jadi bangsa yang kompetitif. Secara riil, perda yang dibatalkan, atau dipangkas sebagian pasalnya, adalah aturan-aturan yang terkait dengan perijinan dan retribusi. Lebih khususnya aturan yang menghambat dunia usaha atau investasi, baik itu PMA dan PMDN. Landasan hukumnya, adalah UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana dalam beleid tersebut terdapat kewenangan Mendagri untuk menghapus perda-perda bermasalah di tingkat provinsi. Di UU Pemda juga terdapat kewenangan bagi gubernur untuk membatalkan peraturan yang dibuat kabupaten atau kota. Tentunya yang dibatalkan adalah aturan yang menghambat investasi serta yang punya dampak terhadap berkurangnya daya saing. Misalnya aturan yang membuat ekonomi berbiaya tinggi.

“Intinya yang membebani dunia usaha atau investasi terutama di sektor primer seperti pertanian, perikanan, perkebunan, pertambangan. Atau sektor sekunder seperti industri manufaktur, listrik, bangunan, konstruksi, infrastruktur dan sektor tersier seperti perdagangan, transportasi, telekomunikasi, bank atau keuangan dan jasa,” urai Tjahjo saat itu.

Dengan berkurangnya ekonomi biaya tinggi, lanjut Tjahjo, dunia usaha atau baik itu di sektor primer, sekunder dan tersier, diharapkan meningkat tajam pertumbuhannya. Maka dengan menggeliatnya pertumbuhan di semua sektor, lapangan pekerjaan pun otomatis bakal tercipta. Pada akhirnya, hal itu bakal berdampak pada meningkatkan penghasilan masyarakat. Ujungnya, kesejahteraan pun akan meningkat pula.

“Dengan meningkatnya penghasilan masyarakat, daya beli masyarakat pun tak lagi lemah. Ujungnya itu bakal mengurangi tingkat kemiskinan,” ujarnya.

Otomatis, ketika kehidupan rakyat membaik, kata Tjahjo, mereka pun akan mampu membayar segala kewajiban pada negara. Misalnya membayar PBB, PKB dan BBN-KB. Dan, semua itu akan kembali pada rakyat, lewat anggaran negara untuk pembangunan. Tidak hanya itu, ketika iklim investasi dan wajah ekonomi membaik, penerimaan pajak daerah akan kena dampak positifnya. Pendapatan daerah bisa meningkat tajam seiring melonjaknya pertumbuhan investasi di sektor primer, sekunder dan tersier.

“Dengan meningkatnya sektor perpajakan yang tak membebani dunia usaha dan masyarakat, otomatis fiskal daerah kuat atau APBD mampu mendukung secara signifikan program prioritas pemerintah seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan,” tuturnya.

Ketika itu, Tjahjo mengatakan perda yang dibatalkan, adalah perda yang memang terbukti menghambat iklim usaha. Karena harus diakui, banyak aturan yang tumpah tindih. Bahkan, Indonesia pun sampai dijuluki negara perizinan. Dalam satu peraturan perijinan saja misalnya, ada ijin prinsip, ijin usaha, IMB serta ijin HO. Ijin HO misalnya adalah aturan perijinan yang dibuat di era Belanda. Dan, di Belanda sendiri, ijin HO sudah lama tak diberlakukan lagi.

“Lha di kita di pakai. Belum lagi soal retribusi antara yang perlu dan tak perlu saling tumpang tindih,” katanya.

Sumarsono, Direktur Jenderal Otonomi Daerah, ketika itu mengatakan, dari total 3143 perda yang dibatalkan, sekitar 15 persen merupakan aturan yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Kemudian sekitar 15 persen lainnya mengarah pada aturan diskriminatif. Sisanya, aturan yang dianggap tak perlu diberlakukan. “Dari 3.143 perda yang dibatalkan sudah masuk semua ke Presiden. Sekitar 67,5 persen perda dinilai bisa menghambat investasi baik lokal maupun internasional,” kata Soni.

Saat itu, Sumarsono mengungkapkan, Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang aturannya banyak dibatalkan. Sebanyak 102 Perda yang dibatalkan di Jawa Timur. Provinsi lainnya yang aturannya banyak dibatalkan adalah Sulawesi Utara. ” Di Sulut yang dibatalkan sebanyak 47 aturan dan Jawa Barat ada 25 aturan,”katanya.

Tapi kata Sumarsono, pada umumnya, semua daerah memiliki perda yang bermasalah. Terutama yang menghambat investasi dan sisanya bertentangan dengan aturan di atasnya.

Sayang, akselerasi deregulasi yang digenjot pemerintah kemudian tersendat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi) terhadap UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemda. Salah satu keputusan mahkamah membatalkan kewenangan pembatalan Perda yang dimiliki Mendagri.

Menteri Tjahjo sendiri sempat mengeluhkan putusan MK. Ia bahkan menyindir langkah Apkasi menggugat UU Pemda. Kata Tjahjo, pertama kali dalam sejarah, ada unsur pemerintah menggugat UU yang dibuat pemerintah itu sendiri. Namun meski telah ada putusan MK yang membuat gerak deregulasi tersendat, pemangkasan aturan yang tumpang tindih dan birokratis tetap dilakukan. Setidaknya di Kemendagri, dengan diumumkannya 51 Permendagri yang telah dibatalkan. Maka, jika ditambah dengan 111 Permendagri yang telah dibatalkan sebelumnya, total aturan Mendagri yang sudah dibatalkan mencapai 162 peraturan. (na)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *