Pilkada DKI Ada Dalam Bayang-Bayang Politik Ekstrem Kanan Belanda

Inionline.id – Gagalnya Partai untuk Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders, yang secara terbuka menyatakan antipendatang dan anti-Islam, dalam meraih suara terbesar di pemilu Belanda pekan lalu, sepertinya melegakan banyak orang.

Walau sejak awal memang amat kecil kemungkinannya untuk memerintah atau masuk dalam koalisi pemerintah di Belanda, ada kekhawatiran dia bakal meneruskan kecenderungan politik kanan di Eropa.

Kecenderungan itu tampak ketika kubu Leave unggul dalam referendum di Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, Juli 2016 lalu. Pendorongnya, antara lain, pandangan menentang para pendatang ke Inggris. Partai sayap kanan UKIP, yang waktu itu dipimpin politisi kontroversial Nigel Farage, menjadi salah satu ujung tombak dalam kampanye kubu Leave.

 

Geert Wilders, Belanda

Pandangan menentang Uni Eropa -yang membuat warga negara Uni Eropa bebas untuk masuk dan bekerja di Inggris- juga didukung beberapa politisi mapan dari partai utama Inggris, Partai Konservatif, antara lain mantan wali kota London, Boris Johnson, yang kini menjadi Menteri Luar Negeri.

Dukungan terbuka Johnson pada kubu Leave -yang kemudian menang dengan selisih suara sekitar 4%- mengantarkan dia ke kursi kabinet yang penting. Bahkan Johnson sempat santer sebagai salah satu calon perdana menteri, yang akhirnya diduduki Theresa May. Ketua Partai Konservatif itu -walau saat kampanye menentang Brexit- ternyata belakangan amat bersemangat untuk menghidupkan Pasal 50 Traktat Lisabon, yang memulai proses resmi keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.

Tampaknya kecenderungan politik ekstrem kanan -yang menentang pendatang sekaligus menciptakan pemisahan tegas antara ‘kami’ dan ‘kalian’- mendapat dukungan para pemilih.

Islam, Ahok

Pandangan antipendatang juga populer dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, November 2016. Calon presiden Partai Republik, Donald Trump- yang awalnya jadi bahan lelucon media utama karena pandangannya atas para pendatang dan Islam- berhasil mengalahkan politisi kawakan dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Tapi apakah kecenderungan yang sama juga terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta, yang akan ditentukan lewat putaran kedua pada 19 April mendatang?

Masalah ‘karakter Ahok’

Beberapa kelompok yang menentang gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memang menggunakan lambang-lambang Islam, antara lain mengangkat bahwa umat Islam tidak boleh memilih pemimpin non-Islam, melaporkan Ahok sebagai penista Islam -yang sedang dalam proses pengadilan- maupun pernyataan dari masjid yang tidak mau melakukan salat jenazah untuk para pendukung Ahok.

Gerakan yang juga bisa ditafsirkan sebagai salah satu pertanda meningkatnya politik kanan dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, anggapan itu ditepis oleh Muhammad Asfar, pengamat politik kepartaian dari Universitas Airlangga.

“Saya tidak melihatnya sebagai sebuah kesadaran politik kanan, tapi lebih pada reaksi-reaksi yang sporadis terhadap gaya kepemimpinan Ahok. Jadi bukan sebuah gerakan sistematis untuk membangkitkan politik kelompok kanan.”

Ahok, Jakarta

“Islam santri, dalam tanda petik, yang anti-Ahok itu lebih pada respons dari sebagian dari kelompok Islam terhadap kepemimpinan personal Ahok,” jelas dosen FISIP UNAIR ini.

Penggunaan simbol Islam, reaksi atas para pekerja Cina, dan sejumlah masalah tentang pendatang lainnya -menurut Asfar- lebih bersumber pada kecemburuan sosial dan bukan sebagai berhadapannya politik aliran kanan dan kiri.

Proses aksi-reaksi yang negatif

Dr Ward Berenschot, peneliti demokrasi dan identitas politik di KITLV, Leiden – Belanda

Kalau kita lihat secara global, ada semacam aksi dan reaksi yang, menurut saya, negatif.

Ada peristiwa yang terjadi, seperti terorisme maupun juga politik Donald Trump, dan akibatnya, antara lain di Belanda, partai anti-Islam dan antipendatang naik.

Setelah itu ada reaksi di beberapa negara, termasuk di Indonesia, yang juga mengangkat dukungan bagipartai-partai yang mengatakan ‘kita harus membela Islam, melawan musuh-musuh Islam’.

Hal itu kemudian menimbulkan reaksi lagi di Dunia Barat dengan berkembangnya pandangan bahwa memang ada sengketa antara Islam dan non-Islam.

Namun yang terjadi sebenarnya proses aksi-reaksi yang negatif, yang dimanfaatkan oleh partai-partai beraliran politik kanan di kawasan Eropa barat dan oleh partai-partai politik Islami di Indonesia maupun negara-negara lain.

Dr Ward Berenschot

Yang kedua, saya kira ada proses yang sama, yaitu jika ada masalah ekonomi dan kalau orang merasa tidak cukup aman maka akan ada politik identitas, yang menjadi menarik bagi banyak orang karena bisa membantu dalam memberikan rasa aman kepada mereka.

Proses itu terjadi di Belanda, dan di Indonesia -menurut saya merupakan salah satu faktor dalam gerakan melawan Ahok, walau tentu ada juga beberapa isu lain yang berbeda.

Pola yang sama adalah penggunaan politik yang memisah-misahkan orang: ada orang yang tidak seperti kami, ada musuh kami, dan kami harus menghadapi lawan. Itu politik yang terlihat di mana-mana, termasuk juga dalam Pilkada DKI Jakarta.

Tentu sedikit berbeda di Indonesia karena diskusi juga mengenai bagaimana posisi Islam di Indonesia, kinerja pemerintah, dan posisi dari kelompok minoritas.

Bagaimanapun secara umum, perdebatan di Belanda dan di Indonesia -dan juga di banyak negara- adalah, ‘apakah negara ini dimiliki oleh satu komunitas, oleh satu budaya atau lebih terbuka untuk semua?’

Politik tanpa ideologi

Sebenarnya politik Indonesia dalam beberapa waktu belakangan tidak banyak lagi mencerminkan ideologi, seperti pengamatan Muhammad Asfar, antara lain karena peningkatan literasi masyarakat Indonesia sehingga orang memilih berdasarkan kalkukasi-kalkulasi rasional.

“Bahkan dalam lima sampai 10 tahun terakhir, banyak elite-elite di tingkat lokal yang tidak menonjolkan ideologi namun pada talenta politik. Jadi karena kemampuan yang bagus dan menawarkan ekspektasi yang baik kepada para pemilih, sehingga mereka terpilih.”

Faktor lainnya adalah yang disebut sebagai materialisme pada tingkat elite politik yang membuat massa pemilih ikut terbawa menjadi sangat pragmatis.

“Sehingga ideologi orang bisa dibeli Rp50.000, Rp100.000 untuk memilih calon. Di banyak tempat, calon Tionghoa memenangkan pilkada meski di situ mayoritasnya umat Islam, sampai 70% hingga 80%. Namun etnis Cina bisa memenangkan pilkada, saya bisa menunjuk tiga atau empat kasus seperti itu di daerah.”

Le Pen, France

Itu yang terjadi di Indonesia, sedangkan di panggung politik global, perhatian agaknya kini tertuju pada pemilihan presiden Prancis yang putaran pertamanya digelar pada 23 April mendatang.

Beberapa jajak pendapat di Prancis memperkirakan calon Jean-Marie Le Pen dari Barisan Nasional, yang antipendatang dan anti-Uni Eropa, akan berhasil melaju ke putaran kedua pada bulan Mei.

Le Pen diperkirakan bakal menghadapi Emmanuel Macron, mantan anggota Partai Sosialis beraliran kiri yang kini maju sebagai calon dari gerakan En Marche dari aliran politik tengah.

Sama seperti Belanda dengan PVV pimpinan Geert Wilders, meningkatnya popularitas Le Pen -apalagi jika terpilih sebagai presiden Prancis- jelas menjadi pertanda lain dari kebangkitan politik ekstrem kanan. (AN/BBC)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *