Jakarta – Seringkali dijumpai mereka yang berseragam sekolah, dengan asyiknya mengobrol sambil mengisap rokok. Tercatat, sekitar 3,9 juta anak remaja sudah terpapar rokok secara aktif.
Dari data Riskesdas 2013 sebanyak 20,5 persen remaja usia 15-19 tahun dan sebanyak 3,7 anak usia 10-14 tahun adalah perokok aktif. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 10 kali lipat dari data riskesdas 1995. Peningkatan besar tersebut dikaitkan dengan produksi rokok yang melimpah serta akses mudah untuk mendapatkan rokok.
“Di warung kecil, anak sekolahan bebas beli rokok karena belum ada pengawasan ketat dari pemerintah. Di samping itu, harga rokok masih sangat murah, membuat anak remaja mudah menjangkaunya,” ujar Humas Yayasan Lentera Anak, Umniyati Kowi, dalam acara Dampak Tembakau pada Perempuan dan Anak, di Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis 2 Februari 2017.
Selain itu, beredar bebasnya iklan rokok, memberikan ruang bagi anak dan remaja untuk turut mencoba rokok. Terlebih, iklan rokok seringkali menunjukkan kepribadian para anak dan remaja, sehingga membuat keinginan untuk merokok semakin kuat.
“Dari beberapa sekolah di lima kota yang kita survei, 85 persen sekolahnya dikelilingi iklan rokok, baik itu poster, spanduk, dan sebagainya. Apalagi di televisi, iklan rokok sering menggambarkan perwakilan dari sosok anak itu, yang membuatnya ingin mencoba,” ucapnya.
Tidak hanya itu, iklan rokok juga sering dipasang di sudut-sudut minimarket dekat makanan ringan. Bahkan, sering menjadi sponsor pentas seni sekolah dan acara olahraga. Paparan tersebut, tentu saja menjadi ancaman bagi generasi penerus bangsa.
“Pengeluaran untuk membeli rokok itu menempati urutan kedua setelah padi-padian. Sehingga konsumsi rokok lebih tinggi dari asupan gizi lain seperti lauk dan sayur,” kata dia.
Lebih lanjut Umniyati menyebutkan bahwa efek merokok tidak didapatkan langsung melainkan belasan tahun mendatang.
“Tentu saja mengancam tumbuh kembang anak. Bahkan risiko kematian mengintai setelah 10-15 tahun rutin merokok,” ujarnya. (Ald/viva)