Jakarta – seperti yang dilangsir CNN Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi membuka kemungkinan menjerat pidana korporasi pemberi suap pada anggota hakim konstitusi Patrialis Akbar yakni BHR. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan, BHR memiliki sejumlah perusahaan yang salah satunya mengurusi soal impor daging.
“Apakah pemberian suap mengatasnamakan diri sendiri atau asosiasi lain, sedang diteliti. Terbuka kemungkinan, agar ada tanggung jawab pidana korporasi,” ujar Laode saat memberikan keterangan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/1).
Jika tak diterapkan pidana, menurut Laode, korporasi akan bebas beroperasi meski pihak penanggung jawab telah dijatuhi hukuman.
Laode menuturkan, BHR sebelumnya pernah diperiksa KPK sebagai saksi terkait kasus impor daging sapi tahun 2013. Laode memperingatkan pada semua pihak agar tak main-main dengan komoditas impor tersebut.
“Sudah diperingatkan bahkan sudah diperiksa kok masih melakukan hal seperti ini. Kami ingatkan baik swasta atau negara jangan coba-coba lagi melakukan praktik korupsi seperti ini,” katanya.
KPK sebelumnya mengungkapkan, hakim konstitusi Patrialis Akbar diduga menerima uang suap sebesar US$20 ribu dan Sin$200 ribu terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Suap itu diberikan BHR untuk membantu agar uji materi kasus itu dikabulkan. Saat OTT, KPK telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan voucher pembelian mata uang asing dan draf perkara 129 tentang uji materi Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Atas kasus ini, KPK menetapkan empat orang tersangka sebagai tersangka yaitu Patrialis, KM, BHR, dan NGF.
Patrialis diduga menerima hadiah US$20 ribu dan Sin$200 ribu. Dalam operasi penangkapan itu tim KPK juga telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan voucher pembelian mata uang asing dan draf perkara 129.
Atas tindakannya, selaku penerima suap, Patrialis dan KM disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 UU 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
Sementara itu, selaku penyuap, BHR dan NGF disangka melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
Pidana Korporasi
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengesahkan Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini disusun melalui proses panjang antara pihak kepolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ketua MA Hatta Ali mengatakan, selama ini aparat penegak hukum masih ragu menerapkan pidana pada korporasi. Sebab dalam KUHAP belum mengatur tentang pemidanaan terhadap korporasi secara rinci.
Hatta mengatakan, dalam perma tersebut diatur tata cara pemidanaan bagi korporasi, salah satunya berupa hukuman denda. Hukuman denda ini dianggap paling sesuai lantaran korporasi tak bisa dikenakan hukuman badan.
Denda itu akan dibayarkan seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab. Umumnya penanggung jawab ini adalah direktur utama atau jajaran direksi lainnya.
“Tanggung jawab bisa diwakili pengurus korporasi. Dalam akta pendirian korporasi biasanya sudah ditentukan siapa yang bertanggung jawab,” katanya.
Juru bicara MA Suhadi menegaskan, pemidanaan korporasi tak berbeda jauh dengan kasus pencucian uang. Jika korporasi tak sanggup membayar denda, maka aparat penegak hukum berhak menyita aset korporasi sebagai ganti kerugian negara.
Suhadi menyebutkan, dalam kasus pemidanaan manusia, ancaman denda wajib dibayarkan sesuai dengan hukuman yang diberikan pengadilan. Misal, jika seorang terdakwa dihukum untuk membayar denda sebesar Rp50 juta, maka jumlah itu pula yang mesti dibayarkan.
Namun bagi korporasi, jika dihukum membayar denda sebesar Rp50 juta maka bisa dikenai tambahan satu per tiga dari jumlah denda tersebut. Selain pembayaran denda, korporasi juga bisa dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin. (Ald/CNN Indonesia)