Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, menegaskan kembali bahwa perubahan aturan ekspor mineral yang memberi kelonggaran ekspor mineral mentah bukan semata untuk kepentingan perusahaan pemegang kontrak karya seperti PT Freeport Indonesia atau perusahaan sejenis lain.
“Kami tidak membuat aturan baru hanya untuk Freeport, Newmont atau perusahaan tambang lainnya. Ini dibuat untuk kepentingan industri,” kata Ignatius Jonan dalam jumpa pers yang digelar Jakarta Foreign Correspondents Club, Selasa (24/01) malam.
Dalam acara itu, Jonan dicecar berbagai pertanyaan soal latar belakangan dan tujuan Peraturan Pemerintah Energi nomor 5 tahun 2017 yang memutuskan memperpanjang masa ekspor mineral bukan hasil pengolahan dan pemurnian dalam negeri, yang diumumkan Kamis (12/01) lalu.
Menurut Jonan, tujuan peraturan baru ini untuk meningkatkan penerimaan negara, menciptakan lapangan kerja, memicu ertumbuhan ekonomi di daerah, hingga mendorong iklim investasi.
Izin ekspor mineral konsentrat itu diperpanjang oleh pemerintah dengan beberapa syarat, di antaranya perusahaan tersebut harus beralih status menjadi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan membangun pabrik pengolahan (smelter) dalam lima tahun ke depan.
“Tidak ada negosiasi lagi,” tegas Jonan berulang-ulang.
Syarat lainnya, perusahaan tambang asing juga harus melepas saham (divestasi) hingga 51% secara bertahap dan paling lambat 10 tahun semenjak masa produksi dimulai.
Dengan peraturan baru soal divestasi ini, PT Freeport misalnya wajib melepas lagi 41% sahamnya di masa datang setelah sebelumnya melepas sekitar 10% kepada pemerintah Indonesia.
Menurut Jonan, Badan usaha milik negara (BUMN), BUMD dan swasta nasional memiliki kesempatan mendapatkan saham yang didivestasikan tersebut.
Ditanya tentang latar belakang keharusan perusahaan itu harus melepas sahamnya hingga 51%, Jonan menegaskan bahwa itu sesusai Konstitusi bahwa bumi, air dan kekayaan alama yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara.
Perihal pembangunan smelter, Jonan mengatakan, pemerintah akan membentuk tim khusus yang bertugas mengawasi dengan ketat mengenai kemajuan pembangunan smelter.
“Setiap enam bulan akan kami lihat sejauh mana perkembangannya,” tegasnya.
Apabila realisasi pembangunan smelter tidak mencapai target 90% dari target, menurut Jonan, pihaknya mengancam akan mencabut surat rekomendasi ekspor.
Kepada media, Juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama mengatakan, pihaknya akan terus bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk memastikan operasi mereka bisa berjalan tanpa gangguan.
Freeport dilaporkan telah berencana membangun smelter seluas 100 hektar di Gresik, Jawa Timur, tetapi proyek tersebut dilaporkan belum selesai. (Ald/BBC)