Fraksi Demokrat di DPR AS memperingatkan kepemimpinan Partai Republik mengenai bentrokan terkait aturan baru untuk mendenda anggota parlemen yang menggunakan media sosial populer seperti Facebook Live dan Periscope untuk menyiarkan aksi di DPR.
CAPITOL HILL — Denda penggunaan media sosial ini adalah respons langsung terhadap aksi duduk menuntut pengawasan senjata api pada musim panas lalu ketika fraksi Demokrat yang sedang menggelar protes menggunakan livestreaming atau siaran langsung lewat internet untuk mengirim pesan mereka kepada publik.
Peristiwa musim panas lalu telah menunjukkan bahwa Kongres tidak mengikuti perkembangan teknologi.
Sejumlah anggota DPR dari Partai Demokrat menentang peraturan. Ketika lawan mereka dari Republik mematikan kamera gedung yang memperlihatkan protes tersebut, Scott Peters, perwakilan Demokrat dari negara bagian California menggunakan ponsel-nya untuk menayangkan aksi mereka.
“Orang-orang bisa melihat perspektif kami di ruang sidang DPR, di mana-mana di dunia. Ini momen yang luar biasa dalam sejarah pemerintah Amerika,” kata Scott Peters.
Sebuah momen yang diharapkan kepemimpinan Republik untuk Kongres ke-115 tidak akan terjadi lagi.
Berdasarkan peraturan DPR, perangkat elektronik selalu dilarang dalam sidang dan sekarang penggunaannya bisa dikenai denda hingga $2.500.
Ketua DPR Paul Ryan mengatakan perubahan itu membantu menjaga ketertiban sehingga anggota parlemen dapat melakukan pekerjaan rakyat.
Tapi John Lewis, pemimpin aksi duduk musim panas lalu, mengatakan denda tersebut melanggar kebebasan berbicara.
“Tidak ada Kongres, tidak ada badan, tidak ada komite yang memiliki wewenang untuk memberitahu kitabahwa kita tidak bisa berdiri, berbicara dan mengungkapkan kebenaran kepada pihak yang berkuasa. Kita memiliki hak untuk berbeda pendapat. Kita berhak memprotes untuk yang benar,” kata John Lewis.
Sementara rakyat Amerika menuntut transparansi dari pemerintah dan para pemilih muda membuat media sosial lebih umum digunakan, Kongres harus menemukan kompromi.
“Koneksi semacam ini sangat mendalam dan segera. Tidak hanya pemimpin tidak menghargai itu, mereka tidak mengadopsinya, mereka tidak mencari cara untuk membuatnya berfungsi, mereka malah melarangnya,” imbuh Scott Peters.
Mengingat Presiden terpilih selalu menggunakan Twitter sebagai metode utama berkomunikasi dengan rakyat Amerika, mungkin sudah terlambat untuk memisahkan politisi dari media sosial, kata analis Josh Crandall kepada VOA melalui Skype.
“Sementara dunia menjadi lebih dinamis, Kongres dan para pemimpin kita harus memikirkan cara untuk menyederhanakan cara pemerintah kita berkomunikasi dengan penduduk kita,” kata Josh Crandall.
Dan dengan Kongres yang dikuasai Partai Republik ingin melembagakan perubahan besar, Demokrat mungkin segera beralih kembali ke media sosial meskipun denda baru diberlakukan.
“Jika tidak ada cara lain untuk menangani kemacetan seperti ini dan penindasan isu yang penting, saya pikir Anda mungkin melihat hal semacam ini lagi,” lanjut Scott Peters.
Sumber : http://www.voaindonesia.com/a/kongres-as-kewalahan-soal-media-sosial/3670109.html