Pemerintah Menyiapkan Perpres Perdagangan Karbon dan Tarif EBT

Ekonomi057 views

Inionline.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan pemerintah Indonesia tengah menyiapkan dua peraturan presiden (pp) mengenai perdagangan karbon dan tarif energi baru terbarukan (EBT). Beleid disiapkan sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan ekonomi berbasis lingkungan alias hijau supaya emisi karbon ke dunia bisa dikurangi.

Kedua aturan itu diumumkannya saat berbicara di Konferensi Iklim 2020 yang diadakan oleh Green Climate Fund (GCF), organisasi internasional yang fokus pada pendanaan ekonomi hijau dan perubahan iklim. Konferensi diadakan secara virtual pada Rabu (14/10) malam waktu Indonesia.

“Pemerintah (Indonesia) sedang dalam proses penyusunan dua peraturan presiden tentang penetapan harga perdagangan karbon dan harga pembelian untuk pembangkit energi terbarukan,” ucap Ani, sapaan akrabnya.

Hal ini merupakan komitmen Indonesia terhadap pembangunan yang berbasis ekonomi hijau dan berkelanjutan. Selain itu, bendahara negara juga mengatakan pemerintah juga terus berusaha mengembangkan potensi energi dari panas bumi.

“Indonesia sebetulnya memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, tetapi masih sangat minim yang tergali karena eksplorasi yang berisiko tinggi,” katanya.

Indonesia, sambungnya, juga telah menginisiasi berbagai instrumen pembiayaan ekonomi hijau untuk memenuhi kebutuhan pendanaan pembangunan di sektor ini. Maklum saja, pembangunan berbasis ekonomi hijau membutuhkan modal yang tak sedikit.

Namun, tak seluruhnya bisa didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Maka dari itu, pemerintah menginisiasi kerja sama pembiayaan ke ekonomi hijau berskema campuran yang berasal dari APBN, BUMN, organisasi internasional, dan dana para dermawan alias filantropi.

“Dana SDGs Indonesia adalah pengelolaan dana lingkungan yang telah dibentuk pemerintah, ini agar kami dapat mewujudkan road map keuangan berkelanjutan yang membutuhkan berbagai lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolio mereka,” terangnya.

Kendati begitu, mantan direktur utama Bank Dunia menyatakan berbagai sumber pembiayaan itu sejatinya tidak akan pernah cukup untuk membiaya kebutuhan pembangunan ekonomi hijau. Maka, perlu keterlibatan dari sektor swasta juga.

“Sektor swasta memainkan peran yang sangat penting bagi pendanaan perubahan iklim dan mendukung komitmen negara berkembang dan maju untuk terus memperbaharui komitmen mereka,” tuturnya.

Untuk itu, pemerintah terus berusaha meningkatkan iklim investasi di Indonesia agar pihak swasta mau mengalirkan dananya dalam pembangunan proyek hijau. Salah satunya dengan menerbitkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker).

“Kami baru saja mengaktifkan omnibus law tentang penciptaan lapangan kerja, ini undang-undang yang komprehensif untuk pembangunan ekonomi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Ani mendorong GCF sebagai salah satu pionir di pembangunan ekonomi hijau agar bisa menciptakan instrumen kerja sama pembiayaan yang dapat digunakan oleh negara-negara di dunia. Khususnya, pemerintah dan sektor swasta.

“Kami mendorong GCF untuk lebih mengembangkan instrumen pembiayaan inovatif yang dapat mendorong investasi perubahan iklim,” ungkapnya.

Sebab, ia melihat pengembangan ekonomi hijau dan investasi ke perubahan iklim merupakan ha yang dapat dilakukan untuk memulihkan ekonomi dunia dari tekanan pandemi virus corona atau covid-19.