Hasil Survei Publik Setuju Reshuffle Kabinet, Ini Catatan untuk Jokowi

Headline, Nasional057 views

Inionline.id – Survei Indonesia Political Opinion (IPO) menunjukan mayoritas publik menginginkan reshuffle kabinet. Sebanyak 60 persen responden setuju Presiden Joko Widodo mengganti para pembantunya.

“Kami menanyakan dengan kondisi sekarang apakah perlu ada reshuffle. 60 persen setuju,” ujar Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah dalam rilis pers, Rabu (28/10).

Beberapa nama menteri jadi sasaran tembak publik untuk diganti. Paling atas adalah Menkes Terawan Agus Putranto (57%), Menkominfo Johnny G Plate (55%), Yasonna Laoly (47%), Mentan Syahrul Yasin Limpo (44%), dan Mendikbud Nadiem Makarim (40%).

Survei ini digelar selama 12-23 Oktober 2020. Survei ini menggunakan dua metode. Purposive sampling terhadap 170 pemuka pendapat dari peneliti universitas, lembaga penelitian, asosiasi ilmuwan. Kedua, survei terhadap massa pemilih nasional menggunakan metode multistage random sampling terhadap 1200 responden di seluruh Indonesia dengan margin of error dalam rentang 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menanggapi keinginan publik itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai Presiden Joko Widodo harus bergerak. Berbagai survei menunjukan persepsi publik agar kabinet dirombak. Beberapa kementerian dipertanyakan kinerjanya.

“Terkait reshuffle, kita tunggu jangan kayak pepesan kosong setahun lebih tapi tidak ada padahal kepuasan ke banyak kementerian problem,” ujar Mardani dalam kesempatan sama.

Sementara itu, menurut Mardani, kalangan akademisi perlu diangkat sebagai menteri. Dia berharap pengangkatan menteri berdasarkan kapasitasnya.

“Kita sudah lama tinggalkan zaken kabinet. Mungkin layak kita promosikan orang baik di kampus,” kata dia.

Sementara itu, peneliti senior LIPI Siti Zuhro menilai survei ini menegaskan status milenial atau anak muda tak menjamin kualitas kinerja kabinet. Seperti digemborkan menteri muda atau milenial sebelum Jokowi memilih menterinya tahun lalu.

“Wanti-wanti saya, ini adalah memimpin negara, kalau memimpin negara berbeda dengan memimpin perusahaan yang hanya kecil. Memimpin negara belum lagi nanti masuk ke birokrasi. Kalau orang masih asing mengelola birokrasi, akan sangat susah,” kata dia.

Siti mencontohkan Nadiem. Keberhasilan membangun perusahaan digital berbeda dengan kerja di kabinet. Tergambar dalam persepsi publik. Apalagi Nadiem memegang kementerian yang sangat krusial yaitu pendidikan, yang kini juga kembali mengurus hingga pendidikan tinggi.

“Pak Jokowi jangan coba-coba melakukan test case seperti ini. Bidang pendidikan ini sentral banget. Menyangkut peradaban. Jadi bukan sekali saya katakan ini. Saya sudah mengatakan ini jauh-jauh hari, tolong hati-hati,” pungkasnya.