Inionline.id – Satgas Penanganan COVID-19 menjelaskan alasan pemerintah pusat turun tangan mengatasi okupansi RSUD di Ibu Kota. Pemerintah pusat menilai ada persoalan pada pendataan okupansi yang belum real time dan terdata dengan baik.
“Masalahnya isunya yang muncul kan adalah katanya rumah sakit tidak cukup, rumah sakit tidak cukup, penuh, dan seterusnya,” kata juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito saat dihubungi, Sabtu (12/9/2020).
Wiku menjelaskan yang sesungguhnya terjadi adalah adanya permasalahan pada pendataan secara real time. Dia pun menyebut selama ini yang dilakukan Pemprov DKI adalah pengisian data secara manual sehingga tidak punya data real time terkait rumah sakit yang penuh atau yang tidak.
“Akibatnya, tidak punya informasi tentang mana yang isi penuh, mana yang tidak, berapa yang terisi penuh. Modelnya masih manual, ditanya satu-satu gitu. Meskipun katanya ada sistem rujukan terpadu, kalau tidak diisi setiap saat, kan akhirnya kita nggak punya informasi soal itu, dan kalau itu tidak interoperable, tidak diketahui rumah sakitnya juga, tidak diketahui oleh dinasnya juga secara wilayah,” sambungnya.
Akibatnya, Pemprov DKI akhirnya menyebut okupansi RSUD DKI Jakarta tinggi. Padahal, menurutnya, kondisi rumah sakit itu selalu dinamis, ada yang masuk dan keluar.
“Sehingga waktu itu terus bilang, wah penuh BOR-nya, padahal keterpakaian tempat tidur itu kan dinamis, sehari orang bisa masuk, sehari bisa keluar, yang masuk banyak yang keluar banyak juga, sembuh banyak, yang sebagian ada yang meninggal juga. Kan dinamis, dan dinamika itu yang nggak terbaca sehingga pada saat penuh, orang datang ke sini, itu kan ngabisin waktu, ketolak, pindah ke sini lagi ketolak lagi. Padahal, kalau ada sistemnya, kan langsung tahu yang kosong ada di mana, kan gitu. Nah, sistem itu nggak ada, dan kemarin itu terjadi seperti itu,” tutur Wiku.
Selain itu, Wiku mengungkap ada persoalan pada sistem yang jelas untuk mendata ruangan mana yang sudah kosong dan terisi di rumah sakit. Kemudian rujukan rumah sakit yang satu ke rumah sakit lainnya juga belum terintegrasi secara baik.
Dengan demikian, akhirnya data yang ada pun tidak real time seperti yang terjadi. Padahal, menurutnya, kondisi semacam itu selalu bergerak secara dinamis.
“Pengaturan secara detil seperti itu, yang tadi dengan sistem rujukan itu juga belum real time, belum interoperable. Kalau misalnya satu rumah sakit sudah penuh ruang ICU-nya, belum tentu penuh ruang isolasinya, belum tentu ruang rawatnya juga. Jadi itu gunanya sistem informasi yang terintegrasi, interoperable,” tuturnya.
Meski begitu, Wiku tak membantah jika kasus yang ada di DKI terus meningkat. Namun dia menegaskan bukan berarti rumah sakit yang ada tidak bisa menampung itu.
“Karena kenyataannya datanya memang menunjukkan masih ada rumah sakit rujukan yang kosong, termasuk Rumah Sakit Atlet. Iya memang kasus naik, naik kan tidak serta-merta (ICU) penuh. Kalau mau menuju penuh, kan (pasien) masih bisa digeser. RS Wisma Atlet kan besar, sudah dijelaskan ada tower tower-nya, jadi masih ada ribuan dan keluar-masuk juga. Jadi jangan melihat kayak ada sesuatu yang heboh. Heboh karena nggak ngerti, nggak baca data,” kata Wiku.
Akhirnya, kata Wiku, persoalan pendataan yang tidak terkoordinasi dan ternavigasi dengan baik ini pun memicu keputusan PSBB tersebut. Padahal nyatanya ada 67 RS rujukan COVID-19 yang ada di DKI Jakarta dan masih bisa menangani pasien.
“Pahami dulu kaitannya sama bed tadi, itu kan sebenarnya trigger (pemicu) untuk mau katakan PSBB atau apa pun itu namanya tadi, tapi isu PSBB itu kan kaitannya penuhnya rumah sakit. Penuhnya rumah sakit itu kan dilihat pada saat itu orang nyari-nyari nggak ketemu bed-nya, padahal Jakarta RS rujukan ada 67. Kalau orang bolak-balik gitu, ya penuh semua, karena nggak ada desk cord navigasi data yang interoperable, sehingga terus mengatakan ini perlu di PSBB, perlu diketatkan gitu,” ujarnya.