Kasus Dangdutan di Tegal, LSM Meminta Tak Berhenti di Kapolsek

Inionline.id – Lembaga Kajian Hukum dan Kebijakan Publik Omah Publik meminta Mabes Polri tak hanya berhenti pada level Kapolsek terkait kasus dangdutan di Tegal. Pihak Polres Tegal dan Polda Jawa Tengah pun mesti diperiksa terkait komitmen mencegah penyebaran Covid-19.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo menggelar dangdutan yang videonya menjadi viral di media sosial. Buntutnya, Kapolsek Tegal Selatan Kompol Joeharno dicopot dari jabatannya karena dianggap lalai dalam hal izin acara.

Koordinator Omah Publik Nanang Setyono menjelaskan pihak Polsek biasanya hanya memberikan rekomendasi terkait keramaian. Sementara, perizinan biasanya dikeluarkan oleh Polres dan Polda, terutama bila acara melibatkan artis nasional.

“Kami kira harus dievaluasi menyeluruh. Jangan sampai hanya berhenti di pencopotan Kapolsek Tegal Selatan. Itu Kapolresta dan Kapolda juga dievaluasi. Istilahnya waskat, pengawasan melekat,” ujar dia, Minggu (27/9).

“Polsek selama ini sifatnya hanya rekomendasi. Jadi Mabes Polri harus evaluasi Polres dan Polda-nya juga, bagaimana komitmennya dalam menangani pencegahan Covid-19,” lanjut Nanang.

Nanang menambahkan kasus keramaian seperti acara dangdutan di Tegal yang mengabaikan protokol kesehatan harus diusut serius dan tuntas agar memicu efek jera bagi masyarakat, tak terkecuali pejabat.

“Proses hukumnya harus tegas supaya untuk pembelajaran buat semua, ya untuk masyarakat, ya untuk pejabat”, tambah Nanang.

Sementara itu, Polda Jawa Tengah masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi baik anggota Polri, masyarakat hingga pejabat yang menggelar acara dangdutan pada Rabu (23/9) lalu. Pasalnya, kegiatan tersebut dimungkinkan bisa menyebarkan dan menjadi klaster baru Covid-19.

“Polisi telah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi atas kejadian Rabu kemarin. Yang anggota Polri, masih kita lakukan pemeriksaan di Propam”, ungkap Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Iskandar Fitriana.

Dalam menangani kasus tersebut, pihak Kepolisian akan menggunakan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang ancaman hukumannya maksimal 4,5 bulan penjara dan atau pasal 216 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 1 tahun penjara.