KontraS: Dalam Setahun Polri Terlibat 921 Kekerasan dan HAM

Inionline.id – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas.

“Selama satu tahun periode Juli 2019 sampai Juni 2020, tercatat ada 921 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian,” kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (30/6).

Rivan menjelaskan jumlah tersebut berasal dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh pihaknya melalui media massa, pendampingan kasus, serta informasi jaringan-jaringan Kontras yang telah terverifikasi sebagai bentuk pelanggaran HAM oleh kepolisian.

Dalam laporan itu, Rivan menyoroti dugaan pembungkaman kebebasan sipil sepanjang Juli 2019-Juni 2020. Terdapat 281 peristiwa dengan 669 korban luka-luka, 3 orang tewas, serta ribuan orang ditangkap saat hendak menyuarakan pendapatnya ke publik.

Dugaan pembungkaman kebebasan sipil ini antara lain berupa pelarangan aksi sebanyak 24 peristiwa, pembubaran paksa dan bentrokan sebanyak 125 peristiwa, penembakan gas air mata 11 peristiwa, dan penangkapan sewenang-wenang 121 peristiwa.

“Itu tinggi sekali pada 2019 sebelum memasuki masa pandemi Covid-19. Kami bisa ingat, bulan September 2019 ada aksi Reformasi Dikorupsi, juga di Agustus ada aksi menentang rasisme oleh orang asli Papua,” ujar Rivan.

Menurut Rivan, subjektifitas polisi sangat tinggi di lapangan dalam melakukan penindakan terkait dengan kebebasan sipil. Padahal, kata Rivan, tak ada indikator kuat bagi kepolisian untuk menindak saat terjadi peristiwa-peristiwa kebebasan sipil itu.

Rivan menyebut penggunaan senjata api oleh kepolisian belum mengimplementasikan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Setidaknya KontraS mencatat kasus dugaan pelanggaran kepolisian saat melakukan pengamanan dengan menggunakan senjata api mencapai 543 peristiwa dengan 683 luka-luka dengan 287 korban tewas.

“Beberapa kasus menunjukkan model perlawanan yang dilakukan oleh korban atau terduga pelaku itu kerap disasar bagian vitalnya korban yang sifatnya bukan melumpuhkan tapi mematikan,” katanya.

Lebih lanjut, Rivan mengatakan KontraS juga menyoroti dugaan penyiksaan baru yang dilakukan oleh kepolisian, yakni melalui siber (cyber-torture).
Ia mencontohkan kasus dugaan peretasan ponsel Ravio Patra dan ancaman terhadap panitia serta narasumber diskusi UGM tahun ini.

“Dalam konteks penyiksaan siber, negara atau aparat ngara itu memiliki kapasitas melakukan itu. Karena instrumen-instrumennya yang mereka miliki itu kerap kali dilakukan untuk manipulasi informasi, doxing yang membuat para korban itu menjadi sakit secara psikis atau mental,” ujarnya,.

Lewat laporan ini, kata Rican, KontraS meminta polisi mengevaluasi penerapan diskresi aparat kepolisian. Selain itu, anggota polisi yang melanggar aturan mendapat sanksi yang seadil-adilnya.

KontraS juga meminta Polri mengedepankan upaya-upaya persuasif dan non-kekerasan setiap kali menangai kasus berkaitan dengan isu Papua dan kebebasan sipil lainnya dengan mengedepankan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat masyarakat.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono belum menjawab panggilan telepon terkait temuan KontraS ini. Namun sebelumnya Argo Yuwono mengatakan setiap laporan dan kritik kepada Korps Bhayangkara tentu akan diterima dan menjadi bahan evaluasi ke depannya.

Ia mengatakan selama ini setiap anggota kepolisian telah dibekali sikap profesionalisme.

“Polri saat ini sudah menjalankan tugas pokoknya sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku,” kata Argo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (28/6) lalu.

Dia mengapresiasi sejumlah lembaga eksternal yang turut melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri. Setiap ada pelanggaran oleh personel, kata Argo, akan ditindak sesuai ketentuan.

Argo menerangkan, pada prinsip menjalankan tugas kesehariannya, Polri terikat pada hukum disiplin sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2016 dan kode etik profesi Polri sesuai Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Selain itu, masih ada aturan turunan lain yang mengikat anggota kepolisian dalam bertindak di lapangan.