Arti Resesi Ekonomi untuk Indonesia

Ekonomi257 views

Inionline.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan skenario resesi Indonesia. Ia menyebut ekonomi Indonesia bisa terkontraksi hingga minus 3,8 persen pada kuartal II 2020. Sementara, untuk kuartal III 2020, laju perekonomian diperkirakan berada di rentang 1,4 persen hingga minus 1,6 persen.

Resesi adalah keadaan di mana pertumbuhan ekonomi suatu negara tumbuh negatif dalam dua kuartal atau lebih secara berturut-turut. Artinya, jika ekonomi kuartal II dan III 2020 tumbuh minus, dipastikan Indonesia masuk ke dalam jurang resesi.

“Kami berharap kuartal III dan kuartal IV 2020 (pertumbuhan ekonomi) 1,4 persen atau kalau dalam negatif bisa minus 1,6 persen. Itu technically bisa resesi kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk zona resesi,” kata Sri Mulyani, dikutip Senin (22/6).

Resesi sebetulnya bukan barang asing bagi Indonesia, selama dua dekade terakhir, Indonesia tercatat telah dihantam dua kali resesi, yakni pada 1998 dan 2008.

Pada krisis moneter 1998, Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang hancur-hancuran akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Saat itu, rupiah melemah hingga 500 persen menyentuh level Rp16 ribu per dolar AS dari posisi normalnya di kisaran Rp2.500 per dolar AS.

Dampaknya tak hanya menghantam pasar keuangan dan ekonomi, namun juga sosial dan politik. Anjloknya rupiah mengakibatkan pasar uang dan pasar modal ikut rontok.

Banyak bank babak belur. BI mencatat rasio kredit macet (Non Performing Loan/NPL) melejit hingga 48,6 persen. Sementara, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan menyentuh minus 15,7 persen.

Berbagai perusahaan besar terutama yang memiliki utang dalam bentuk dolar ikut pailit. PHK pun tak terhindarkan, pengangguran melonjak mencapai 20 persen dari total angkatan kerja.

PHK, naiknya harga barang, dan naiknya tingkat kemiskinan hanya beberapa dari masalah yang dihadapi pemerintahan Soeharto pada saat itu.

Krisis 1998 menemui puncaknya saat Presiden Soeharto diturunkan akibat ketidakpercayaan masyarakat akan pemerintahan orde baru.

Sementara, krisis 2008 yang berasal dari AS disebabkan oleh besarnya pasak dari tiang masyarakat. Puncak krisis terjadi saat lembaga keuangan menyatakan bangkrut karena kehilangan likuiditasnya.

Saat itu, krisis merembet sampai ke Indonesia melemahkan pertahanan rupiah hingga belasan persen. Kala itu, BI mencatat rupiah sempat menyentuh Rp10.200 per dolar AS dari kurs normalnya di level Rp9.000 per dolar AS.

Meski tak seburuk saat krisis moneter 1998, namun resesi 2008 menghantam pasar keuangan dan ekonomi Indonesia. Indonesia sebagai negara yang menerima aliran deras dana investor asing kembali remuk akibat ditariknya investasi asing dari RI.

Pasar modal sempat jatuh hingga 55 persen dari posisinya pada Desember 2007, yaitu 2.746 menjadi 1.242 pada November 2008.

Meski dampaknya terhadap sektor keuangan cukup berat, namun di sektor riil, BI masih mencatat pertumbuhan positif di level 4 persen pada 2009, turun dari perolehan 2008, yaitu di atas 6 persen.

12 tahun setelah resesi terakhir, Indonesia kembali dihadapkan dengan kemungkinan pahit itu. Lembaga riset Morgan Stanley meramalkan pertumbuhan Indonesia minus 1 persen pada 2020. Angka prediksi itu direvisi dari sebelumnya yang masih positif 1 persen.

Mengutip riset Morgan Stanley bertajuk Asia Economic Mid-Year Outlook, ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 diprediksi minus hingga 5 persen. Kemudian, pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga diyakini masih minus pada kuartal III dan IV 2020.

Detailnya, ekonomi kuartal III 2020 diproyeksi minus 1,5 persen dan kuartal IV 2020 minus 0,5 persen.

Krisis pandemi virus corona tak hanya mengikis kesehatan pasar keuangan dan ekonomi namun juga rantai pasokan, dan daya beli masyarakat khususnya UMKM.

Jika konsumsi masyarakat tak naik signifikan di masa transisi dan tatanan normal baru yang artinya permintaan tak dapat mengimbangi pasokan pasar, maka dikhawatirkan pekerja yang mengalami PHK akan meningkat.

Indikasi awal telah ditunjukkan lewat rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 2,97 persen pada kuartal I 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut ini terjadi karena sumbangan konsumsi rumah tangga turun drastis dari kisaran 5 persen ke 2,84 persen akibat tertekan dampak pandemi virus corona.

Berbagai stimulus pun dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari bantuan tunai hingga stimulus modal kerja demi menyelamatkan perekonomian Indonesia.

“Kami berharap kuartal III dan kuartal IV 2020 (pertumbuhan ekonomi) 1,4 persen atau kalau dalam negatif bisa minus 1,6 persen. Itu technically bisa resesi kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk zona resesi,” kata Sri Mulyani.