Bebas Banjir, Hunian yang Dicari Para Milenial Jakarta

Inionline.id – Bukan harga, bukan pula kelengkapan fasilitas. Faktor yang menjadi pertimbangan utama para milenial Jakarta dalam membeli hunian saat ini adalah bebas banjir.

Ya, bebas banjir. Kondisi bebas banjir menduduki nomor satu yang dipertimbangkan, disusul kemudian berturut-turut kemudahan akses terhadap transportasi publik, harga, lokasi, dan kelengkapan fasilitas.

Pertimbangan para milenial Jakarta ini tentu saja diametral dengan fatsoen para investor properti dan generasi sebelumnya yang menempatkan “lokasi”, sebagai pertimbangan pertama dan utama.

Kenapa harus bebas banjir?

Fasbukhanali, milenial yang bermukim di Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur, ini menjawab, membereskan dan merapikan kembali rumah setelah direndam banjir sangat melelahkan dan menguras tenaga.

“Bikin capek. Belum lagi furnitur yang basah dan kotor, atau barang elektronik yang rusak. Pokoknya saya enggak akan beli rumah di area yang berpotensi kebanjiran,” kata anak muda yang merupakan karyawan swasta, dan masih tinggal bersama orang tuanya ini.

Pada hari perdana tahun baru atau Rabu (1/1/2020), kawasan tempat tinggal orang tua Ali, sapaan intim Fasbukhanali, terendam 70 sentimeter hingga 1,5 meter.

Hal ini mengakibatkan rumahnya juga tak luput dari genangan banjir hingga ketinggian 50 sentimeter. Air memasuki seluruh ruangan, termasuk kamar tidur.

Banjir kali ini, menurut Ali lebih parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini diamini Melvin Deswira. Milenial berusia 21 tahun dan merupakan mahasiswa perguruan tinggi negeri Jakarta ini mengatakan banjir tahun 2020 lebih mengerikan.

Air demikian cepat meninggi dan menerjang apa saja. Termasuk rumah orang tuanya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Tak hanya terendam banjir, Melvin dan keluarganya juga harus menanggung kondisi gelap gulita sepanjang Rabu hingga Kamis (2/1/2020) pagi karena listrik padam.

“Saya tidak sempat mengabadikan peristiwa banjir ini karena semua gawai dan peralatan elektronik lainnya mati,” ungkap Melvin.

Beruntung Melvin masih bisa menyelamatkan barang-barang elektronik, sementara perabotan lainnya terendam banjir.

“Ini yang bikin repot, evakuasi barang berharga, sementara di sisi lain harus bersih-bersih rumah. Sampai sekarang kami masih beres-beres,” kata Melvin.

Banjir tahun ini tak hanya merendam rumah-rumah tapak (landed house) yang secara struktur lebih berpotensi terdampak, apartemen (vertical house) juga turut menjadi “korban”.

Hanya, menurut Jevon Wicaksono, penghuni Gading Resort Residence 3 kompleks Mall of Indonesia, banjir tahun ini tak sempat masuk kompleks apartemen.

“Banjir di depan kompleks apartemen setinggi 70 cm,” kata Jevon.

Akibatnya, para penghuni kesulitan beraktivitas di luar kompleks apartemen, akibat aksesnya terendam banjir.

Oleh karena itu, baik Ali, Melvin, maupun Jevon, lebih memilih hunian bebas banjir. Selain bebas banjir, akses terhadap transportasi publik menjadi pertimbangan kedua.

Faktor akses terhadap transportasi publik ini tak kalah penting. Karena, hunian dengan aksesibilitas yang memadai ini memudahkan mereka untuk beraktivitas sehari-hari.

“Akses penting. Apalagi yang dekat dengan buss rapid transit (BRT), light rail transit (LRT), mass rapid transit (MRT), atau commuter line (CL), itu akan kami cari,” ujar Tommy Godfried Cahyo.

Alasannya, imbuh dia, memangkas ongkos pengeluaran yang bisa separuhnya jika dibandingkan dengan kendaraan pribadi.

Selain itu, dengan memanfaatkan akses dan transportasi publik, dia telah ikut berkontribusi mengurangi kemacetan Jakarta.

Reputasi pengembang

Realistis, praktis, dan juga kritis. Itulah gambaran milenial Jakarta saat ini. Mereka tak peduli, brosur perumahan dan apartemen yang ditawarkan demikian eksklusif atau menggiurkan, jika tidak dapat memenuhi ekspektasi dan preferensi tak akan mereka lirik.

Demikian halnya dengan harga murah, atau hadiah-hadiah yang biasanya dijadikan gimmick oleh pengembang, juga bakal dijauhkan dari pertimbangan.

Atau, lebih jauh lagi, mereka akan sangat mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan terkait bebas banjir tadi.

“Kami akan mempertimbangkan apakah perumahan atau apartemen tersebut dibangun di pertemuan antara dua sungai, apakah ada izin mendirikan bangunan (IMB)-nya, apakah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)-nya ada,” tutur Yusa Cahya Permana, anggota komunitas Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ).

Jakarta bisa terendam banjir, karena masifnya pembangunan fisik yang tak terkendali. Pengembang dengan reputasi baik, kata dia, akan mengutamakan dan memperhatikan hal ini.

Jadi, reputasi, rekam jejak, dan juga konsep pengembangan hunian akan saling terkait dan tidak dapat dipisahkan secara parsial.

Pengembang yang tidak memiliki visi, Rheza Rivana menimpali, justru akan merugikan konsumennya.

Dia mencontohkan, Kawasan Pondok Gede yang merupakan titik temu Sungai Cikeas dan Sungai Ciliwung seharusnya bebas permukiman.

Namun, hal ini tidak diindahkan. Akibatnya, Perumahan Pondok Gede Permai tenggelam dengan kerugian material tak sedikit.

Untuk diketahui, Perumahan Pondok Gede Permai adalah salah satu yang terdampak banjir paling parah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *