Kisah Relawan Komunitas Dinding Mendidik Anak-Anak Pedagang Pasar Manado

Pendidikan257 views

Inionline.id – Setiap akhir pekan, sekelompok anak muda ini merelakan waktu mereka untuk mengajar anak-anak usia sekolah di Kompleks Pasar Bersehati Manado. Para relawan yang rata-rata masih mahasiswa ini tergabung dalam Komunitas Dinding. Mereka rela tidak dibayar untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak itu.

Windy Fahruddin berhenti sejenak dari kesibukannya menata ruangan kecil di Kawasan Megamas Manado. “Kami akan menggelar gathering malam ini bersama anak-anak didik Komunitas Dinding,” ujar alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Univeritas Sam Ratulangi Manado ini.

Windy saat ini dipercayakan untuk memimpin Komunitas Dinding, sebuah perkumpulan relawan yang mengajar anak putus sekolah serta anak yang tak pernah mengecap pendidikan formal. “Gathering ini diisi juga dengan lomba mewarnai. Ada 15 anak yang kami ikutkan dalam kegiatan ini,” ujar Windy yang sekarang sudah bekerja di sektor swasta.

Rekrut Relawan melalui Medsos

Wanita cantik ini mengaku mengelola Komunitas Dinding yang berisi para relawan mempunyai dinamika tersendiri. Karena, ketika sudah menyelesaikan kuliah, ada kemungkinan relawan itu akan berhenti mengajar sebab pindah kota atau kesibukan lainnya.

Hal ini terkait dengan bagaimana kesinambungan proses pembelajaran bagi anak-anak. “Karena para pengajar ini adalah relawan, maka kita sepakati agar kepengurusan Komunitas Dinding ini diganti setiap tahun. Supaya program bisa berjalan aktif,” ujarnya.

Dengan pola seperti itu, Komunitas Dinding tetap bertahan hingga hampir satu dekade. Sejak berdiri pada tahun 2010 silam, sudah begitu banyak relawan yang ikut meluangkan waktu mengajar di Komunitas Dinding.

Meski para pengajar itu tidak dibayar, tetapi banyak anak muda yang ternyata tertarik dengan kegiatan tersebut. “Cara merekrut relawan, ya informasi dari mulut ke mulut. Juga melalui media sosial khususnya Facebook dan Instagram. Ternyata cukup banyak yang berminat untuk menjadi pengajar,” ujar Windy.

Saat ini, relawan yang terdata berjumlah 15-20 orang. Sedangkan, yang datang setiap akhir pekannya untuk mengajar ada 10 orang.

Windy mengatakan, agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar, maka sebelum materi dimulai akan didahului dengan memberikan pembekalan kepada para relawan. Hal itu dimaksudkan agar para pengajar mengetahui kondisi anak-anak peserta didik, dan juga terkait dengan materi yang akan diberikan.

“Hal ini mengingat para relawan ini bisa bergantian datang setiap minggu. Sehingga kami kawal bagaimana metode pembelajaran dan materi ajar,” Windy menambahkan.

Dalam pertemuan setiap hari Sabtu itu, selain belajar ada juga waktu untuk bermain. Setelah itu, dilakukan evaluasi oleh pengurus Komunitas Dinding terkait kegiatan hari itu.

Lingkungan pasar yang keras diyakini para pengelola Komunitas Dinding turut memengaruhi karakter dan perilaku anak-anak para pedagang. Karena itulah materi ajar yang diberikan selain menitikberatkan pada pengetahuan umum, juga pendidikan karakter.

“Selain bertujuan agar anak-anak bisa membaca, menulis, dan menghitung, kami juga berharap bisa membangun karakter yang baik,” ujar Windy.

Salah satu contohnya adalah dalam bertutur kata. Masih banyak ditemui anak-anak yang berkata kasar. “Kami melarang mereka jika bertutur kata seperti itu,” ujarnya.

Meski disadari bahwa kehadiran Komunitas Dinding hanya sekitar 2-3 jam saja setiap pekannya, sementara waktu lebih banyak adalah anak-anak dipengaruhi lingkungan pasar. Namun Windy tetap optimis bisa membangun karakter anak. “Setidaknya kami sudah mengajarkan dan mencontohkan hal-hal yang baik itu seperti apa,” dia menegaskan.

Kompleks Pasar Bersehati Manado yang terletak di Kelurahan Calaca, Kecamatan Wenang, Kota Manado, merupakan pasar tradisional yang padat. Tidak ada Sekolah Dasar (SD) di dekat situ. Sementara jumlah anak usia sekolah sekitar 100 orang. Sebanyak 50 di antaranya setiap hari Sabtu mengikuti kegiatan belajar bersama Komunitas Dinding.

Windy mengatakan, pihaknya membagi puluhan anak itu dalam tiga kelompok. Yang pertama adalah PAUD, kemudian kelas kecil untuk usia SD kelas 1-3, dan kelas besar untuk kelas 4-6 SD. “Ada empat mata pelajaran pokok yang diajarkan yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Kewarganegaraan,” ujar Windy.

Kendala Fasilitas dan Legalitas

Meski namanya Komunitas Dinding, sesungguhnya sekolah ini tidak berdinding. Terletak di lantai 3 salah satu bangunan Pasar Bersehati, kondisi ruangannya cukup memprihatinkan apalagi jika turun hujan. Namun, kondisi itu tak menurunkan minat para pengelola Komunitas Dinding untuk berkarya.

“Kalau kantor kami di lantai dua, sedangkan lantai tiga yang digunakan untuk belajar,” ujar Windy.

Hal lainnya yang menjadi kendala sejak Komunitas Dinding ini didirikan adalah terkait legalitas. Sebagai sebuah “Sekolah Alternatif” kendala yang dihadapi oleh Komunitas Dinding tak hanya sebatas ruangan yang tidak representatif atau proses pembelajaran, tapi juga soal legalitas. Apalagi pada usia yang masih muda, anak-anak ini semestinya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal berikutnya.

Beberapa tahun silam, pengurus Komunitas Dinding sempat berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kota Manado. Namun, anak-anak itu belum bisa diikutkan dalam ujian kesetaraan atau Paket A dan B.

Ketika itu, Dinas Pendidikan Kota Manado menginginkan agar anak-anak tersebut, khususnya yang putus sekolah, bisa bergabung di salah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai syarat bisa mengikuti ujian kesetaraan.

Persoalannya adalah lokasi PKBM itu cukup jauh dari Pasar Bersehati. “Ini yang membuat dilematis. Tapi, kami akan terus cari solusi untuk menyelamatkan anak-anak ini agar mereka bisa mendapat kesempatan sekolah,” ujar Ika Salindeho, pengurus Komunitas Dinding saat itu.

Meski berada dalam kondisi seperti itu, tetapi aktivitas belajar setiap akhir pekan selalu seru. Anak-anak pedagang pasar ini mungkin tak tahu soal legalitas, soal ijazah formal, atau pengakuan dari pemerintah. Yang mereka inginkan, bisa berkumpul, belajar, dan bermain bersama, meski dalam kondisi lingkungan belajar yang cukup memprihatinkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *