Kantong Berbayar Tak Selesaikan Karut Marut Plastik

Ekonomi757 views

Inionline.id – Berbelanja di gerai ritel modern akan sedikit lebih mahal dari biasanya. Sebab, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta seluruh anggotanya menerapkan kebijakan plastik berbayar paling sedikit Rp200 bagi setiap transaksi belanja yang menggunakan kantong plastik.

Kebijakan yang dimulai 1 Maret 2019 ini dimaksudkan agar konsumsi plastik bisa ditekan. Kebijakan ini diharapkan bisa membuat masyarakat bijak menggunakan plastik. Terlebih Indonesia merupakan negara penyumbang kedua sampah plastik di dunia dengan total 1,29 juta ton dalam setahun. Dibandingkan China, peringkat ini memang tak ada apa-apanya, dengan sampah plastik 3,53 juta ton per tahun.

“Dengan kebijakan ini, konsumen kami sarankan untuk menggunakan tas belanja pakai ulang yang juga disediakan di tiap gerai ritel modern melalui pengumuman poster, sosial media, dan ajakan langsung dari kasir,” terang Ketua Umum Aprindo Roy Mandey, belum lama ini.

Pun demikian, ia mengingatkan pengurangan konsumsi plastik bukan hanya menyoal penyelamatan lingkungan semata. Semakin berkurangnya permintaan plastik, tentu berimbas pada produsennya. Apalagi, penurunan produksi plastik juga menyangkut jutaan masyarakat yang menggantungkan hidup darinya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengungkapkan kebijakan ini akan memperparah kinerja industri setelah sebelumnya dihantam beberapa peraturan daerah yang melarang penggunaan kantong plastik.

Menurut hitung-hitunganya, permintaan kantong plastik sudah menurun 10 persen dalam setahun terakhir setelah beberapa pemerintah daerah melakukan kebijakan tersebut. Jika aksi pembatasan terus dilakukan, bukan tak mungkin banyak perusahan akan gulung tikar.

Jika perusahaan bangkrut, ancamannya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Dan worst case scenario (skenario terburuh) dari pembatasan plastik, ya tentu bikin perusahaan tutup, ini pun termasuk kebijakan plastik berbayar. Hanya saja, saya tak punya data mengenai jumlah pegawai dan jumlah industri kantong plastik di Indonesia,” jelasnya.

Sebetulnya, Inaplas menyayangkan kebijakan plastik berbayar di tengah upaya industri menciptakan plastik ramah lingkungan. Fajar menyebut saat ini produksi kantong plastik tercatat 360 ribu ton per tahun, di mana 80 persen merupakan kantong plastik yang bisa didaur ulang (recycle).

Selain mengurangi potensi sampah plastik yang sia-sia, plastik recycle juga dianggapnya punya siklus ekonomi yang cukup luas. Kalau tak ada lagi permintaan plastik recycle dari konsumen, maka tidak ada sampah plastik lagi yang bisa dipungut oleh para pemulung untuk kemudian diolah menjadi biji plastik. Ujung-ujungnya, jutaan pemulung terancam kehilangan pendapatan.

Padahal, kalau ditelusuri lebih dalam, 40 persen dari permintaan kantong plastik recycle itu pun berasal dari ritel modern. “Circular economy dari kantong plastik recycle ini cukup luas, jangan pernah berpikir hanya industri yang kena getahnya, tetapi jutaan orang yang menggantungkan hidup dari sini pun juga kasihan,” terang dia.

Bila pasokan biji plastik dari kantong plastik recycle berkurang, mau tak mau Indonesia harus mengimpor sampah plastik dari luar negeri. Hal ini tentu memberatkan dan merugikan Indonesia, mengingat tahun lalu saja neraca perdagangan Indonesia sudah defisit US$8,57 miliar.

Jika ini dibiarkan, Fajar memastikan impor akan melonjak. Ditambah lagi, Badan Standar Nasional (BSN) atas rekomendasi Pusat Standardisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bilang kantong plastik yang bisa mendapatkan label Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah kantong plastik mudah terurai oxo-degradable atau bio-degradable.

“Dan ini sebetulnya langkah mundur, karena kantong plastik degradable ini sebetulnya merusak kualitas. Thailand saja sampai membatalkan kebijakan penggunaan kantong degradable,” ucapnya.

Toh, lebih lanjut Fajar bertutur maraknya sampah plastik bukan murni hasil dari tingginya konsumsi plastik. Menurutnya, pengelolaan sampah yang kurang baik juga berimbas pada bejibunnya volume sampah.

Untuk itu, ia meminta pemerintah pusat dan daerah untuk serius memilah sampah plastik dan menggolongkannya menjadi dua, yakni plastik sekali pakai dan recycle. Dengan demikian, pengumpulan plastik recycle bisa lebih mudah, sehingga produsen bisa menjangkau bahan baku dengan lebih baik.

Kebijakan ini, sambung Fajar, juga menjadi motivasi bagi industri untuk memproduksi plastik recycle. Sejatinya, industri juga enggan memproduksi lagi plastik sekali pakai. Selain merusak lingkungan, kualitasnya pun sangat buruk.

Pengelolaan sampah ini diyakini bisa membantu meningkatkan utilisasi produksi kantong plastik recycle. Saat ini, industri kantong kresek bisa menerima 1,6 juta ton limbah plastik recycle, namun hanya 900 ribu ton saja yang mampu terserap.

“Jadi, memang sebetulnya pengelolaan sampahnya juga harus dibenarkan, bukan hanya konsumsi sampahnya. Jangan hanya terus manajemen sampah plastik hanya kumpul-buang, kumpul-buang terus,” imbuh dia.

Sebagai upaya, Fajar melanjutkan Inaplas tengah mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang diberi nama masaro atau manajemen sampah zero. Melalui sistem ini, sampah plastik melalui proses pemilahan yang cukup panjang, mulai dari kumpul, angkut, buang, pilah, proses, dan jual kembali ke industri.

Daerah-daerah, seperti Indramayu, Cirebon, dan Cilegon sudah didapuk sebagai proyek percobaan dan sudah dianggap mendulang sukses.

Sistem ini juga menarik perhatian pemerintah daerah lain seperti Wonosobo, Tangerang, dan Pekanbaru. “Jadi kami juga ikut membantu plot pengelolaan sampahnya,” katanya.

Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menambahkan sampah plastik juga bukan sepenuhnya salah konsumsi masyarakat. Menurutnya, pengelolaan sampah yang tepat lebih cepat membantu pengurangan sampah plastik yang beredar saat ini.

Agar pemerintah daerah tertarik untuk melakukan pengelolaan sampah yang baik, maka pemerintah pusat juga harus memberikan insentif melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menilai kebijakan pemberian Dana Insentif Daerah (DID) untuk 10 pemda yang mulai dianggarkan tahun ini sebesar Rp93,83 miliar sudah cukup baik.

Namun demikian, pemda pun harus berinovasi, agar kebijakannya tak hanya berkutat di pembatasan penggunaan kantong plastik semata. “Memang perlu kebijakan insentif dan disinsentif bagi daerah terkait pengelolaan sampah. Bukan hanya dengan membatasi penggunaannya saja. Jangan sampai seperti kebijakan cukai rokok yang tadinya membatasi rokok malah permintaannya bertambah terus setiap tahun,” tutur dia.

Kebijakan pengelolaan sampah lebih penting ketimbang kebijakan kantong plastik berbayar yang dinilainya tak ampuh mengurangi minat membeli (willingness to pay) konsumen karena harganya relatif murah, yaitu hanya Rp200 per lembar.

Menurut survey yang dilakukan Walhi beberapa waktu lalu, konsumen tidak akan membeli lagi kantong plastik jika harganya sudah mencapai Rp1.000 hingga Rp2.000 per lembar. “Karena itu kan sama dengan harga parkir, sehingga konsumen merasa malas untuk menggunakan plastik. Tapi kalau hanya Rp200, permintaan plastik akan tetap ada,” tegas dia.

Kemudian, ia juga mempertanyakan aliran uang Rp200 setelah ritel memungutnya dari konsumen. Seharusnya menurut dia, uang itu harus kembali lagi untuk pengelolaan sampah mengingat alokasi APBN untuk pengelolaan sampah juga tak begitu banyak.

Sekadar informasi, di dalam APBN 2019, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah sebesar Rp 800 miliar.

“Kami hanya berharap pungutan itu bukan untuk mengganti ongkos biaya produksi plastik, tapi untuk mengganti biaya kerugian lingkungan. Meski masih terlalu murah, namun kami tetap apresiasi kebijakan tersebut,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *