Foreign Policy and Transnational Organized Crime

IniOnline.id – P3K2 Aspasaf, BPPK Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan FGD dengan tema “Foreign Policy and Transnational Organized Crime”. Hadir dalam sebagai peserta pada FGD ini dalah mahasiswa Fakultas Hukum Charles Darwin University, yang didampingi Prof. David Price dan mahasiswa Fakultas Hukum UI, yang didampingi oleh Kris Wijoyo.

Kepala BPPK sebagai narasumber menyampaikan materi berjudul “Foreign Policy and Transnational Organized Crime: The Case of Abu Sayyaf Group (ASG)”. Dalam penjelasannya disampaikan bahwa berdasarkan The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime/UNTOC (Palermo Convention) dan resolusi Dewan Keamanan Dewan Keamanan 2322/2016, Abu Sayyaf Group (ASG) dianggap memenuhi karakter sebagai pelaku tindakan transnational organized crime, karena memiliki struktur organisasi, beroperasi lintas batas negara (Filipina, Indonesia, dan Malaysia), dan melakukan tindakan kriminal dengan tujuan memperoleh keuntungan material melalui pemerasan.

Motif Ekonomi

Motif finansial adalah salah satu faktor utama dalam tindakan penculikan yang dilakukan oleh ASG. Pelaut-pelaut yang bekerja pada perusahaan besar dan orang-orang asing merupakan target utama penculikan oleh ASG. Pembayaran tebusan ada kalanya merupakan jalan yang ditempuh untuk proses pembebasan sandera.

Kemunculan ASG dan kelompok radikal lainnya di Filipina Selatan sangat terkait dengan kesenjangan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah Filipina Selatan., Faktor ekonomi inilah yang kemudian membesarkan segregasi politik identitas dan berujung pada tindakan-tindakan kriminal dari ASG.

Upaya Penanganan

Terdapat beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk memberantas tindakan kriminal yang dilakukan oleh ASG. Pendekatan militer dengan joint coordinated patrol, pengawasan jarak jauh dengan menggunakan drone, serta intelligent-sharing merupakan hal yang dapat dipotimalkan untuk mengurangi kejadian-kejadian penculikan yang terjadi di perbatasan tiga negara, antara Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Selain itu, peningkatan kesejahteraan dengan capacity building untuk pengembangan sektor agrikultur, perikanan, dan industri kreatif, termasuk melalui kerja sama BIMP-EAGA adalah upaya lain untuk mengalihkan masyarakat di Filipina Selatan dari ide-ide radikal.

Kompleksitas permasalah keamanan di Filipina Selatan juga diperparah dengan kedekatan ASG pada masyarakat level grassroot. Robinhoodism ASG membuat ide-ide radikal banyak mendapat simpati dan terkadang membuat penegakan hukum terhadap ASG harus berhadapan dengan pembiaran yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Pendekatan kultural untuk mendirikan Islamic Boarding School dari Indonesia dengan kurikulum formal dapat membantu menghadirkan kepahaman baru mengenai Islam yang moderat. (kemenlu/na)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *