Pertamina Akan Kurangi Kontrak Denggan Pihak Ketiga

Ekonomi, Headline057 views

Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyebut, dibutuhkan proses panjang bagi PT Pertamina (Persero) agar bisa melakukan investasi pada masa transisi sebelum mengelola lima Wilayah Kerja (WK) yang memasuki masa terminasi. Apalagi, kelima WK itu sebelumnya dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang berbeda.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas Taslim Yunus beralasan, KKKS lama pasti akan mengurangi investasinya di tahun-tahun akhir periode kontrak karena WK tersebut akan dikelola Pertamina.

Untuk itu, menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 30 Tahun 2016, Pertamina bisa berinvestasi terlebih dulu di masa transisi, di mana pengelolaan WK tetap dilakukan oleh KKKS lama.

Namun, peraturan itu menyebut bahwa investasi yang dikeluarkan Pertamina bisa diganti oleh cost recovery di PSC terbaru. Padahal, kontrak-kontrak baru WK terminasi itu nantinya bersifat gross split, yang artinya tidak ada lagi penggantian biaya operasional kepada KKKS.

Sehingga, jika Pertamina kukuh ingin berinvestasi di WK terminasi sebelum PSC baru berlaku, maka pemerintah harus mengganti investasi yang dikeluarkan Pertamina ke dalam split bagian kontraktor. Namun sayangnya, sampai saat ini instansinya belum tahu bagaimana mekanisme konversi investasi tersebut ke dalam split milik KKKS.

“Makanya, unrecovered cost ini perlu diperhatikan sejak sekarang. Kami sedang pikirkan payung hukumnya agar investasi ini bisa berjalan,” ujar Taslim, Selasa (31/1).

Lebih lanjut ia menuturkan, pelaksanaan ini tidak akan sama seperti transisi pengelolaan blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina.

Dalam kondisi itu, Pertamina bisa berinvestasi terlebih dulu sebelum PSC lama kedaluwarsa, karena kontrak lama maupun baru sama-sama menganut rezim cost recovery.

Maka dari itu, SKK Migas meminta Pertamina untuk mempersiapkan komitmen-komitmen pengelolaan WK baru di masa transisi meski kontraknya baru efektif tahun depan. Hal ini, lanjutnya, agar kontrak WK baru bisa dirumuskan dengan cepat.

“Setahun sebelumnya, kalau ingin berinvestasi mau seperti apa. Izin-izin pengelolaan WK dari awal juga harus sudah disiapkan. Sehingga, kontraknya bisa langsung disiapkan. Kalau PSC blok Offshore Northwest Java (ONWJ) kan gross split-nya mendadak, diharapkan kedepannya bisa lebih baik,” terangnya.

Meski harus melalui proses panjang sebelum berinvestasi, Pertamina dianggapnya perlu menanamkan modal di masa transisi agar produksi WK terminasi tidak menurun. Apalagi, pemerintah menargetkan target lifting yang diharapkan tak menurun tajam dibanding tahun sebelumnya.

Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016, lifting minyak ditarget sebesar 820 ribu barel per hari (bph). Sementara itu, target lifting minyak di APBN 2017 dipatok sebesar 815 ribu bph, atau turun 5 ribu bph dibanding tahun sebelumnya.

Selain itu, dalam waktu dekat, SKK Migas rencananya akan membentuk payung hukum agar investasi di masa transisi bisa dilakukan dengan memperhitungkan pergantian unrecovered cost.

“Payung hukumnya bisa berbentuk agreement antara SKK Migas, operator yang lama, dan operator yang akan datang,” jelasnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menugaskan Pertamina untuk mengelola delapan WK yang tenggat kontraknya akan habis tahun 2018 mendatang. Lima WK diantaranya merupakan peralihan dari KKKS yang berbeda.

Kelima WK tersebut terdiri dari blok Sanga-Sanga yang dioperatori Virginia Indonesia Co LLC, blok South East Sumatera yang dioperatori CNOOC SES Ltd, blok Tengah oleh Total E&P Indonesie, blok East Kalimantan yang dioperatori Chevron Indonesia Company, dan blok Attaka yang sebelumnya dioperatori Inpex Corporation. (Pri/CNN)