Sekjen: Transformasi PTKI Harus Diisi Keunggulan Prestasi

Pendidikan057 views

Samarinda – inionline.id – Beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) telah melakukan transformasi atau alih status dari STAIN menjadi IAIN dan dari IAIN menjadi UIN. Sekjen Kemenag Nur Syam mengingatkan bahwa transformasi institusi harus diisi dengan keunggulan prestasi.
Hal ini disampaikan Nur Syam di hadapan civitas akademika IAIN Samarinda pada Rapat Kerja Pelaksanaan Anggaran Tahun 2017 di Samarinda, Rabu (11/01). IAIN Samarinda salah satu PTKIN yang telah bertransformasi dari status sebelumnya sebagai STAIN.
“Jadi, tantangan kita tidak sekedar menjadi IAIN sebagai lembaga yang dianggap relevan, tetapi bagaimana mengisi ruang-ruang kosong akademis ini untuk terus didinamisasikan di dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Nur Syam.
“Jadi jangan berhenti menjadi IAIN tetapi bagaimana mengisi IAIN ini dengan kajian akademik yang unggul di dalam lingkungan akademik yang hebat,” tambahnya.
Mantan Rektor IAIN (UIN) Sunan Ampel Surabaya ini mengatakan, perubahan status dari STAIN Ke IAIN membawa konsekuensi terkait banyak hal, misalnya perubahan jumlah mahasiswa, pertambahan jumlah dosen, program studi, tenaga kependidikan dan juga sarana prasarana. Namun, transformasi status mengandung tidak hanya perubahan kelembagaan saja. Lebih dari itu, alih status juga harus diikuti perubahan mental atau mindset untuk menjadi yang terdepan atau one step ahead.
“Selalu saya nyatakan bahwa bukan perubahan status kelembagan menjadi IAIN yang diupayakan diraih, akan tetapi yang jauh lebih penting ialah bagaimana kita mengubah pemikiran seluruh jajaran pemangku kepentingan atau stakeholder tentang menjadi IAIN tersebut,” katanya.
“Dalam banyak kesempatan saya ungkapkan ‘jangan menjadi IAIN rasa STAIN’. Bukan maksud saya menyatakan STAIN itu berada di kelas bawah, akan tetapi harus berpikir bahwa menjadi IAIN itu artinya memiliki mandat yang lebih besar dan luas. Terutama dalam cakupan keilmuan yang dihadapi dan diperjuangkan,” katanya lagi.
Menurutnya, perguruan tinggi adalah pusat pendidikan berbasis riset. Pertanyaannya, seberapa banyak dosen IAIN Samarinda diberi keleluasaan melakukan riset sebagai basis pendidikan? Seberapa banyak temuan riset yang menjadi pembicaraan di dunia akademis? Seberapa hebat perdebatan akademis dan intelektual yang terbentuk hingga mewarnai lingkungan akademic atau academic environment di kampus.
Nur Syam berharap, transformasi IAIN Samarinda dapat melahirkan intelektual dan akademisi yang dapat meninggalkan legacy yang hebat di dunia kajian Islam dan ilmu sosial. Pada Islamic studies, mantan Dirjen Pendidikan Islam ini menyebut figur Imam Bukhari-Muslim, Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali, serta Imam Ghazali. Sementara dalam ilmu sosial, Nur Syam menyebut Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile Durkheim, bahkan Karl Marx hingga Clifford Geertz dan Robert N Bellah.
“Karya-karyanya dikaji dan dijadikan pedoman dalam urusan pelaksanaan beragama,” tuturnya.
“Sering saya ungkapkan, berapa banyak doktor yang dihasilkan dari memperdebatkan karya Geertz atau Imam Ghazali,” tandasnya.