Bigo Live dan Mesumnya Otak Kita

Inionline.id, – Bigo Live memang belum genap setahun. Aplikasi live streaming ini baru diluncurkan pada 12 Maret 2016. Namun hingga saat ini jumlah pengunduhnya meroket hingga mencapai 50 juta lebih di Play Store. Jumlah itu pun belum dihitung di App Store. Bintangnya memang sedang bersinar.
Aplikasi yang bermarkas di 8 Temasek Boulevard, Suntec Tower Three, Singapura ini pun mendadak tenar di tanah air. Namun citra Bigo Live di tanah air cenderung berbau negatif. Anda pun bisa melihatnya di Google Trends 12 bulan terakhir. Kata kunci teratas dari pencarian yang mengandung frase ‘bigo live’ adalah ‘hot bigo live’. Mengapa?
Bigo Live memang mengadakan ruang untuk ‘transaksi’. Ketika ada broadcaster yang sedang tampil, maka para viewer bisa memberikan ‘gift‘. Ada gift bunga hingga supercar. Namun sebelum memilih ‘gift‘, para viewer mesti membeli diamond terlebih dahulu. Anda bisa membeli 42 buah diamond seharga USD 1. Pembelian ini bisa melalui Google Wallet, MOL, maupun Coda Pay.

Diamond ini semacam mata uang yang berlaku di Bigo Live. Karena hanya dengan diamond-lah, para viewer bisa membeli gift yang kelak akan diberikan pada broadcaster. Kelak para broadcaster bisa menukarkan gift yang diperoleh dengan beans. Sebelum ditukar ke uang secara langsung, beans mesti ditukar lebih dulu dengan diamond.

Nilai tukar beans dengan diamonds adalah 10:3. Jadi kalau anda punya 1000 beans, maka sudah ada 300 diamonds yang anda miliki. Namun Bigo membuatnya sederhana, yakni dengan membuat perbandingan USD 1 sebanding dengan 210 beans. Dan Bigo membuat aturan beans yang bisa ditukar sebanyak 6700 buah, sehingga uang yang akan diperoleh sebanyak USD 32.

Inilah transaksi yang kemudian dimanipulasi menjadi semacam ‘bisnis birahi’. Para broadcaster memancing-mancing dengan adegan-adegan yang tak senonoh. Bahkan ada yang sampai menampilkan adegan hubungan intim. Ketertarikan orang-orang dipancing lewat instingnya yang paling mendasar, yakni insting seksualitas. Sehingga tidak heran apabila bermunculan ‘artis-artis’ Bigo dan para pelanggan setianya yang menuturkan dari mulut ke mulut soal ‘bisnis’ ini.

Namun alih-alih mendapat label positif atas banyaknya para pengunduh, dan menjadi perusahaan yang memberikan level pelayanan setara aplikasi milik perusahaan teknologi sekelas Facebook dan Youtube, Bigo terjerembab ke dalam kubangan prostitusi. Ia mendapat citra negatif.

Apakah di Bigo sendiri tidak ada konten positif? Ada, seperti memasak, tutorial make up, dan lainnya. Namun konten negatif itu sepertinya mendominasi. Seolah-olah, ketika orang berbicara Bigo, maka tendensinya selalu miring.

Padahal, aturan Bigo pun sebenarnya cukup gamblang dan ketat. “Adegan merokok, vulgar, pornografi, dan menampilkan ketelanjangan dilarang di Bigo Live. Jika dilakukan, akun akan dilarang dalam layanan. Moderator terus melakukan pemeriksaan selama 24 jam,” demikian atur Bigo. Namun apa yang terjadi? Sepertinya Bigo kewalahan dalam melakukan pemeriksaan. Sehingga broadcaster yang nakal luput untuk kena blokir.

Akhirnya Kominfo pun turun tangan untuk Bigo. Pemegang regulasi ini melakukan blokir beberapa domain name server (DNS) untuk melarang peredaran Bigo di jaringan internet tanah air. Alhasil, aplikasi Bigo Live pun tidak bisa tayang di layar smartphone penggunanya sejak pertengahan Desember 2016 lalu.

Namun Indonesia adalah pasar yang potensial. Diblokir di negara ini semacam menjadi gangguan bisnis yang cukup serius. Untuk itu, pendiri sekaligus CEO Bigo, David Li, dengan ditemani oleh Country Manager Bigo Indonesia, Steven Chang, pun mendatangi Kantor Kominfo dan menemui orang nomor satu disitu, Rudiantara.

Kurang dari satu bulan kemudian, rupanya apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut dipenuhi oleh pihak Bigo. Jadi Kominfo meminta Bigo untuk membuka kantor di Indonesia. Kabarnya mereka sudah menemukan sebuah lokasi di kawasan Mega Kuningan untuk digunakan sebagai markas Bigo di Indonesia. Tak hanya itu, Bigo pun berjanji merekrut pekerja lokal agar pengawasan konten jauh lebih baik.

Apakah Konten Negatif Hanya Milik Bigo Semata?

Pertanyaan ini mengingatkan pada sebuah kisah antara Buya Hamka dan seseorang yang berkata ada pelacur di Makkah. Intinya, seseorang akan menemukan apa yang dicarinya. Jika yang dicarinya adalah konten negatif, maka dimanapun ia akan menemukan konten tersebut. Facebook, Twitter, Youtube, apalagi blog-blog, bisa ditemukan konten-konten yang menjurus dengan apa yang dimiliki oleh Bigo.

Jadi Bigo sebenarnya sudah baik dengan menghadirkan fasilitas live streaming semacam ini. Fasilitas ini bisa digunakan untuk suami dan istri yang terpisah jarak, buat para guru untuk membuka kelas jarak jauh, dan hal-hal positif yang lain. Bayangkan misalnya, dengan hanya berbekal layanan Bigo, sebuah sekolah online bisa berdiri dengan fasilitas gift sebagai semacam iurannya.

Namun konten negatif terlanjur menyandung Bigo. Cerminan pencarian yang merujuk pada kata ‘hot‘ dan kata kunci negatif lainnya telah menjadikan layanan ini ikut terimbas negatif pula. Semoga dengan dibukanya blokir Bigo Live mulai 13 Januari 2017, Bigo jadi lebih baik. Dan otak-otak mesum saya, anda, dan kita semua tak lagi dimanfaatkan untuk mengakali Bigo menjadi wadah yang negatif. Ya, semoga. (AN)

Sumber : http://m.log.viva.co.id/news/read/872141-bigo-live-dan-mesumnya-otak-kita